Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu di Komisi II DPR, bak pisau bedah bagi Partai Demokrat.
Kendati fokus utamanya tak terkait langsung partai penguasa ini, potensinya kian menenggelamkan citra partai yang dibidani Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Seperti diketahui publik, Demokrat dirundung masalah pelik. Sederet kadernya terbelit kejahatan yang menjadi musuh bangsa. Yang teranyar, mantan Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin diduga terlibat suap Sesmenpora Rp 3,2 miliar.
Nazaruddin kian membuat SBY murka, begitu mencuat dugaan gratifikasi Rp 828 juta terhadap Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK). Selain Nazaruddin, Amrun Daulay terjerat korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit di Depsos. Wakil Ketua Umum Demokrat, Jhonny Allen Marbun pun tak luput suap dana stimulus dermaga dan bandara di Indonesia Timur.
Kader Demokrat yang menjabat kepala daerah juga terhegemoni korupsi. Mulai Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip, Wali Kota Bukit Tinggi Djufri, Wakil Bupati Tana Toraja Andrias Palino Popang, Bupati Lampung Timur Satono hingga Bupati Boven Digul Papua Yusak Yaluwo.
Panja Mafia Pemilu sendiri mengusung misi utama menguak tabir di balik kasus pemalsuan surat putusan MK Nomor 112/PAN MK/2009 tertanggal 14 Agustus 2009. Surat palsu menggunakan kop dan nomor sama putusan asli MK tertanggal 17 Agustus 2009.
Isinya, seolah-olah MK menetapkan Caleg Hanura, Dewie Yasin Limpo lolos ke Senayan. Padahal, MK menetapkan Mestariany Habie, Caleg Gerindra dari daerah pemilihan Sulsel.
Misteriusnya surat palsu itu dijadikan dasar rapat pleno KPU, 21 Agustus 2009 yang dipimpin Anggota KPU Andi Nurpati. Pleno memutuskan Dewie sebagai anggota DPR.
Tuhan Maha Kuasa dan Maha Adil. Mestariany tak sengaja menemukan fotokopian putusan asli MK di tempat fotokopi kantor KPU. Akhirnya, KPU meralat putusannya dan mendudukkan Mestariany di Senayan.
Keganjilan ini mendorong Ketua MK Mahfud MD yang dikenal "santrinya" Gus Dur, mengadukan pemalsuan dokumen otentik itu ke Mabes Polri. Andi Nurpati bak buah simalakama baru bagi Demokrat. Anggota KPU yang dipinang secara "dramatik" pasca-Pemilu Legislatif dan Pilpres itu, mendapat "hadiah" sebagai Ketua Divisi Kominfo DPP Partai Demokrat.
Andi Nurpati yang kala itu menjabat pimpinan rapat pleno, pantas digugat tanggungjawab hukum dan integritasnya. Ingatan kita pun melayang, di mana protes-protes Parpol pasca-Pileg maupun Pilpres. Umumnya, Parpol menggugat dugaan kecurangan Pemilu.
Bukan isapan jempol. Sederet indikasi kuat sejatinya lazim ditindaklanjuti penegak hukum. Mulai ketidakberesan daftar pemilih tetap, pencetakan surat suara, money politics, "terbangnya" suara secara misterius, hingga pelenyapan dokumen Pemilu.
(pontianak.tribunnews.com)
Kendati fokus utamanya tak terkait langsung partai penguasa ini, potensinya kian menenggelamkan citra partai yang dibidani Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Seperti diketahui publik, Demokrat dirundung masalah pelik. Sederet kadernya terbelit kejahatan yang menjadi musuh bangsa. Yang teranyar, mantan Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin diduga terlibat suap Sesmenpora Rp 3,2 miliar.
Nazaruddin kian membuat SBY murka, begitu mencuat dugaan gratifikasi Rp 828 juta terhadap Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK). Selain Nazaruddin, Amrun Daulay terjerat korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit di Depsos. Wakil Ketua Umum Demokrat, Jhonny Allen Marbun pun tak luput suap dana stimulus dermaga dan bandara di Indonesia Timur.
Kader Demokrat yang menjabat kepala daerah juga terhegemoni korupsi. Mulai Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip, Wali Kota Bukit Tinggi Djufri, Wakil Bupati Tana Toraja Andrias Palino Popang, Bupati Lampung Timur Satono hingga Bupati Boven Digul Papua Yusak Yaluwo.
Panja Mafia Pemilu sendiri mengusung misi utama menguak tabir di balik kasus pemalsuan surat putusan MK Nomor 112/PAN MK/2009 tertanggal 14 Agustus 2009. Surat palsu menggunakan kop dan nomor sama putusan asli MK tertanggal 17 Agustus 2009.
Isinya, seolah-olah MK menetapkan Caleg Hanura, Dewie Yasin Limpo lolos ke Senayan. Padahal, MK menetapkan Mestariany Habie, Caleg Gerindra dari daerah pemilihan Sulsel.
Misteriusnya surat palsu itu dijadikan dasar rapat pleno KPU, 21 Agustus 2009 yang dipimpin Anggota KPU Andi Nurpati. Pleno memutuskan Dewie sebagai anggota DPR.
Tuhan Maha Kuasa dan Maha Adil. Mestariany tak sengaja menemukan fotokopian putusan asli MK di tempat fotokopi kantor KPU. Akhirnya, KPU meralat putusannya dan mendudukkan Mestariany di Senayan.
Keganjilan ini mendorong Ketua MK Mahfud MD yang dikenal "santrinya" Gus Dur, mengadukan pemalsuan dokumen otentik itu ke Mabes Polri. Andi Nurpati bak buah simalakama baru bagi Demokrat. Anggota KPU yang dipinang secara "dramatik" pasca-Pemilu Legislatif dan Pilpres itu, mendapat "hadiah" sebagai Ketua Divisi Kominfo DPP Partai Demokrat.
Andi Nurpati yang kala itu menjabat pimpinan rapat pleno, pantas digugat tanggungjawab hukum dan integritasnya. Ingatan kita pun melayang, di mana protes-protes Parpol pasca-Pileg maupun Pilpres. Umumnya, Parpol menggugat dugaan kecurangan Pemilu.
Bukan isapan jempol. Sederet indikasi kuat sejatinya lazim ditindaklanjuti penegak hukum. Mulai ketidakberesan daftar pemilih tetap, pencetakan surat suara, money politics, "terbangnya" suara secara misterius, hingga pelenyapan dokumen Pemilu.
(pontianak.tribunnews.com)
0 komentar:
Post a Comment