Powered by Blogger.

Hadiah Bui 17 Bulan untuk Panda

Thursday, 23 June 2011

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan vonis 17 bulan penjara kepada Panda Nababan. Majelis menilai politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu terlibat dalam kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Selain Panda, Majelis Hakim juga menghukum tiga politisi PDI Perjuangan lainnya, yakni Engelina Pattiasina, M Iqbal, dan Budiningsih dengan hukuman yang sama. "Menyatakan terdakwa satu, dua, tiga dan terdakwa empat terbukti melakukan tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim, Eka Budi, saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu 22 Juni 2011.

Selain hukuman pidana penjara, Hakim juga menghukum Panda cs dengan membayar denda masing-masing sebesar Rp50 juta, dengan ketentuan jika tak mampu membayar diganti pidana kurungan 3 bulan.

Menurut majelis hakim, hal yang meringankan para terdakwa bersikap sopan, koperatif dalam persidangan, mengabdi pada negara, memiliki masalah kesehatan, memiliki tanggungan, tidak pernah dihukum dan untuk terdakwa 1 Panda masih dibutuhkan pemikiran dan pengalamannya untuk kemajuan hukum di Indonesia. Sementara yang memberatkan terdakwa tidak menerapkan unsur ketidakhati-hatian dalam menjalankan tugas dan merusak citra Dewan Perwakilan Rakyat .

Hukuman ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yakni selama tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan hukuman terhadap Engelina Pattiasina, M Iqbal, dan Budiningsih, juga lebih ringan dibanding tuntutan jaksa 2,5 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 4 bulan penjara.

Panda Banding

"Masya Allah," kata Panda berteriak begitu ketua majelis hakim Eka Budi selesai membacakan vonis di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Rabu 22 Juni 2011.

Usai sidang, Panda menyatakan banding atas vonis 17 bulan karena ikut menerima suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004 lalu. Panda menilai, majelis hakim yang diketuai Eka Budi telah memanipulasi fakta-fakta di persidangan. "Saya sangat sedih. Pak Andi dan Pak Made rupanya main voting, bukan main kebenaran," katanya menyebut dua hakim anggota lainnya.

Panda menuturkan, tak ada fakta di persidangan yang menyebutkan dirinya menerima maupun membagikan cek kepada rekan-rekannya sesama fraksi. "Betul-betul saya dizalimi. Saya hanya bisa mengatakan, masya Allah," ujarnya.

Dia menambahkan, yang paling aneh dalam pembacaan putusan hakim terdapat kata-kata baru yaitu ia disebutkan terlibat soal peredaran. "Itu tadi hakim ketua yang mengatakan. Peredaran apa? Narkoba? Peredaran video bajakan? Putusan hakim tidak berdasarkan fakta," ujar Panda yang malang-melintang beberapa periode di Komisi Hukum DPR itu.

Atas putusan itu, Panda secara tegas akan melakukan banding. "Saya tidak terima. Saya harus banding. Tidak sesuai fakta."

Bukan hanya itu, Panda mengancam melaporkan hakim yang mengadilinya ke Badan Pengawas Mahkamah Agung. "Ini hakim karir, saya kecewa sekali," ujar Panda.

Kekecewaan Panda lantaran majelis hakim tidak mengungkapkan pengakuan seorang saksi, Fadilah, sebagai fakta persidangan dan keputusan majelis hakim seolah berdasarkan voting. "Fakta persidangan dimanipulasi, saya sedih, betul-betul dizalimi," ujarnya.

Menariknya, putusan atas Panda dan tiga kawannya ini mirip dengan putusan atas empat politisi PDI Perjuangan lainnya dalam kasus yang sama pada Rabu pagi. Empat politisi PDI Perjuangan yaitu Ni Luh Mariani, Sutanto Pranoto, Suwarno, dan Matheos Pormes juga sama-sama divonis penjara 1 tahun 5 bulan alias 17 bulan. Selain hukuman penjara, mereka juga dikenakan denda Rp50 juta subsider 3 bulan.

"Terdakwa 1, terdakwa 2, terdakwa 3 terdakwa 4 telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi secara besama," kata Ketua Majelis Hakim, Suwidiya, saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Seperti halnya Panda, hal yang meringankan bagi keempat terdakwa adalah bahwa yang bersangkutan belum pernah dihukum, memiliki tanggungan dan mengabdi cukup lama untuk negara. Sementara yang memberatkan tidak menerapkan unsur ketidak hati-hatian dan merusak citra DPR.

Vonis Hakim jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa, sebelumnya Jaksa menuntut keempatnya dengan pidana penjara selama 2,5 tahun dan denda Rp50 juta. Namun atas putusan itu para terdakwa sepakat untuk pikir-pikir.

Politisi Golkar

Kasus cek pelawat itu juga menyeret para politisi Golkar ke penjara. Sepekan lalu, Jumat 17 Juni, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sudah memvonis lima politisi Partai Golkar. Achmad Hafiz Zawawi, Marthin Brian Seran, Paskah Suzetta, Bobby Suhardiman, dan Anthony Zeidra Abidin juga dihukum 16 bulan penjara.

Majelis Hakim menilai, kelima terdakwa itu terbukti menerima suap. Selain itu, Hakim juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp50 juta subsidair 3 bulan penjara.

Majelis mengatakan, seharusnya para terdakwa menduga cek pelawat itu erat kaitannya dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Namun hal tersebut diabaikan oleh para terdakwa.

Dua di antara mereka, Bobby Suhardiman dan Anthony Zeidra Abidin, menerima vonis 16 bulan penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. "Demi kepastian dan masa depan keluarga, saya menerima," kata Bobby Suhardiman.

Hal senada juga diungkapkan oleh kolega Bobby, Anthony Zeidra Abidin. Dia juga menyatakan menerima putusan yang dijatuhkan majelis hakim. "Apabila majelis hakim berpendapat saya menerima uang dari Hamka Yandhu, walau saya anggap itu bantuan, saya akan menerima dengan ikhlas," kata Anthony yang juga pernah dipidana karena menerima suap dana YPPI.

Paskah Suzetta tetap dikenai vonis yang sama dengan keempat koleganya meski tidak mengakui perbuatannya tersebut. Paskah yang pernah menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional itu menyatakan pikir-pikir atas vonis itu.

Minta Grasi

Dari 19 orang politisi DPR periode 1999-2004 yang diseret awal tahun ini ke pengadilan karena dugaan menerima suap dalam pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia, hanya politikus PDIP Agus Condro yang lebih ringan hukumannya, 15 bulan penjara. Agus Condro sendiri, meski mengaku bersalah, tidak berharap divonis 15 bulan penjara.

"Kalau saya pikir-pikir dulu, mungkin kuasa hukum saya akan mempertimbangkan untuk meminta grasi," kata Agus usai divonis Kamis 15 Juni 2011 lalu.

Semula Agus memperkirakan vonis atas dirinya bisa lebih ringan dari yang diputuskan hakim. Pertimbangannya, dia adalah saksi pelapor kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Menurut Agus, pelapor dalam Undang-undang LPSK pasal 10 ayat 1 itu tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata atas laporan yang diberikannya. namun majelis hakim mengambil keputusan lain.

Meski tak sesuai harapan, Agus merasa dirinya memang layak diberi hukuman. Agus kemudian merujuk kasus Mbok Minah, nenek asal Banyumas yang dituduh mengambil Kakao kemudian dihukum penjara selama 3 bulan. "Masa saya selaku pejabat negara menerima hadiah Rp500 juta tidak dihukum itu kan mencederai keadilan," ujarnya.

Agus dinyatakan bersama-sama dengan Max Moein, Rusman Lumbantoruan, dan Williem Max Tutuarima menerima suap berupa cek pelawat. Max Moein dan Rusman divonis 20 bulan penjara, serta William divonis 18 bulan penjara. Empat politisi PDI Perjuangan itu juga mendapat tambahan hukuman berupa membayar denda masing-masing Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan.
(vivanews.com)
Share this article on :

0 komentar:

Post a Comment

 
© Copyright 2010-2011 Kampret All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.