Powered by Blogger.
Tuesday 26 July 2011

Gubernur Sumatra Nonaktif, Syamsul Arifin Dituntut Lima Tahun Penjara

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Gubernur Sumatera Utara (Sumut) nonaktif, Syamsul Arifin hukuman lima tahun penjara. Syamsul juga didenda senilai Rp 500 juta subsidair 6 bulan.

"Menuntut, supaya majelis hakim menjatuhkan pidana lima tahun dan membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan," ucap anggota JPU, Muhibuddin, saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (26/7).

JPU juga menuntut Syamsul membayar uang pengganti hasil korupsinya sebesar Rp 88,2 miliar. JPU menganggap, Syamsul terbukti sah melakukan tindak pidana korupsi dengan menyelewengkan dana APBD Langkat tahun 2000-2007 hingga merugikan keuangan negara mencapai Rp 98,7 miliar.

"Terdakwa terbukti adanya kesengajaan menggunakan kas daerah untuk pribadi dan keluarga," kata Muhibuddin.

Syamsul dianggap terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Usai mendengarkan tuntutan Jaksa, Syamsul dan kuasa hukumnya tidak memberikan tanggapan atas tuntutan tersebut.

Namun kuasa hukum Syamsul hanya menyampaikan surat permohonan pembantaran. Atas permohonan pembantaran tersebut, majelis hakim yang dipimpin Tjokorda Ray Suamba akan mempertimbangkan permohonan tersebut. Sidang ditunda dan dilanjutkan pada hari Senin 1 Agustus 2011.
(republika.co.id)

Pemilu Kotor Itu Baik(?)

"Pemilu tidak bersih!". Wah ada apa? Jika pernyataan itu keluar dari mulut rakyat kecil di warung kopi barangkali sudah biasa. Namun bagaimana jika pernyataan itu terlontar dari mulut seorang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD?

Beberapa hari yang lalu, Mahfud MD memang mengeluarkan pernyataan yang berbunyi, "Anda jangan mimpi bahwa pemilu itu akan bersih 100 persen, kapan pun dan di mana pun. Pasti ada satu atau dua, maka di undang-undang itu disebut, pelanggaran yang signifikan terhadap angka", sebagaimana dikutip dari berita online, okezone.com (11/7/2011).
Kecurangan pemilu sendiri sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Masyarakat sendiri menyaksikan dan merasakan kecurangan-kecurangan itu secara nyata. Para peserta pemilu yang kebetulan kalah pun juga kadang melaporkan adanya kecurangan dalam pemilu. Meski peserta yang kalah juga melakukan kecurangan. Singkatnya, kecurangan dalam pemilu sudah menjadi rahasia umum.

Pernyataan dari Mahfud MD sendiri dapatlah mempertegas bahwa pemilu lima tahunan selama ini jauh dari kejujuran dan kata bersih. Hanya sebuah mimpi, kata beliau, jika mengharap pemilu 100 persen bersih dan jujur. Sebabnya, kecurangan pemilu dilakukan oleh samua partai secara random.

Kecurangan pemilu yang umum terjadi dilakukan dengan memanipulasi daftar pemilih tetap, serangan fajar, hingga saat penghitungan suara. Kecurangan-kecurangan ini kerap terjadi baik pada pemilukada, maupun pemilu legislatif dan eksekutif tingkat nasional. Apalagi kasus pemalsuan keputusan MK yang terkuak belakangan ini kian menambah keraguan terhadap kualitas pemilu yang selama ini berlangsung.

Pemilu Demokrasi yang Korup

Dalam perpolitikan sekuler, kecurangan demi kecurangan yang ada dapat dikatakan hal yang wajar dan dimaklumi. Sebabnya sedikit sekali mengedepankan etika politik. Doktrin Machiaveli agar meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara masih menjadi acuan di alam perpolitikan sekuler. Tanpa terkecuali untuk memenangkan pemilu.
Apalagi dalam sistem demokrasi, biaya (modal) besar harus dikeluarkan oleh peserta pemilu jika ingin menang. Dari sinilah kemudian tunas korupsi mulai tumbuh. Biaya yang besar itu sendiri bisa diperoleh dari pemodal-pemodal dengan deal-deal tertentu kalau berhasil menang. Bahkan dari negara atau lembaga asing sekalipun, seperti desas-desus belakangan terkait Sri Mulyani.

Selanjutnya kalau berhasil menang, deal-deal atau proyek hitam pun disikat. Tak mengapa tidak amanah, toh itu akad dengan pemodal. Korupsi? Tak apa-apa haram, asalkan modal kampanye kembali. Lha gimana lagi kalau gaji selama lima tahun belum cukup kembalikan modal. Lho?

Ketidakjujuran selama pemilu pun berimbas ketika para pemenang pemilu menempati kursi pemerintahan. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para anggota legislatif dan kepala pemerintahan daerah menjadi buktinya. Peneliti korupsi politik ICW, Abdullah Dahlan mengungkapkan, kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi dalam suatu pembangunan proyek ini sudah dirancang atau 'by design' oleh partai politik.

Bagaimana output pemilu yang ada? Kontribusi 'orang-orang terpilih' yang disaring melalui pemilu bagi rakyat? Ternyata tidak juga menggembirakan. Dari gedung wakil rakyat misalnya, sejak era reformasi hingga sekarang telah lahir 76 undang-undang yang berlaku sekarang ternyata dibuat oleh konsultan asing seperti IMF, Bank Dunia dan USAID. Dengan kata lain, para anggota legislatif hanya tinggal setujui saja. Tidak sedikit dari peraturan dan UU yang dibuat kontrapoduktif dengan cita-cita negara. Bahkan hingga Juni kemarin ada sekitar 158 kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi (antaranews, 25/6/2011)

Padahal dana pemilu menyita biaya yang begitu besar agar memiliki penyelenggara negara yang handal. Padahal rakyat pun sudah capek bergumul dengan problematika seperti kemiskinan, pengangguran, putus sekolah dsb. Tetapi ternyata? Pemilu dalam sistem demokrasi yang menagih biaya besarlah penyebabnya. Demokrasi seperti kata Samuel Huntington (1998) tidaklah selalu menjadi pilihan terbaik, karena ia dapat menimbulkan inefisiensi dan ketidakpastian.

Persoalannya adalah apakah kecurangan pemilu yang terjadi dimaklumi begitu saja? Sehingga jika ke depan kerap kali terulang, pemilu yang curang tetap (harus) dimaklumi (lagi). Kalau begitu bagaimana kita bisa memiliki penyelenggara negara yang amanah, bila dalam pemilunya saja sudah dipenuhi kecurangan. Padahal selama ini kita begitu mendambakan aparat-aparat pemerintahan yang kapabel, dan amanah.

Pemilu memang tidak masalah, tetapi orientasi 'haus kekuasaan' itulah yang menjadi penyebabnya. Sekali lagi, kita tidak menyalahkan pemilu sebagai sebuah cara rekrutmen penyelenggara negara. Sebabnya dalam Islam pun mekanisme pemilihan/rekrutmen penyelenggara negara dengan pemilu juga ada.

Hal yang kita sayangkan adalah ketika kekuasaan dijadikan tujuan. Sehingga ketika duduk empuk di kursi kekuasaan, tugas mengurus rakyat pun terabaikan. Bahkan kekuasaan dapat membuat lupa diri, lupa rakyat, bahkan lupa iman. Sampai-sampai penjajahan gaya baru pun diperkenankan masuk dan mengobrak-abrik kedaulatan negara dari sebagaimana mestinya.

Para pembaca tentu pernah mendengar jingle iklan sebuah deterjen yang berbunyi "Kotor itu baik". Tentu kedengaran konyolnya ketika menilai pemilu yang tidak bersih dengan mengatakan "Pemilu tidak bersih itu baik". Sangat miris sekali.

Bagaimana juga, (kecurangan) pemilu tidak lepas dari sistem demokrasi yang berlaku sekarang. Menarik melihat pertanyaan mendiang Ignatius Wibowo mengenai demokrasi. Beliau meragukan validitas teori bahwa demokrasi adalah penyelamat segala bentuk kebobrokan di Indonesia saat ini pun patut diperhatikan oleh semua pihak. Bahkan ungkap Ignatius, demokrasi malah memunculkan masalah baru yang sebelumnya tidak pernah ada seandainya demokrasi tidak diterapkan.

Apalah ternyata, demokrasi yang digadang-gadang mampu menjadi solusi ternyata tidak manjur. Bahkan jauh panggang dari api. Demokrasi tidak mampu menjembatani negeri ini ke cita-citanya: mensejahterakan rakyat dan melindungi negara dari penjajahan yang dalam bahasa BJ. Habibie, 'VOC berbaju baru'.
(detik.com)
Saturday 23 July 2011

Anggaran Pilkada DKI Tidak Transparan

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penyusunan anggaran pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta terkesan tertutup dan tidak transparan.
"Sampai saat ini masyarakat pun tidak tahu berapa anggarannya," ujar Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, Abdullah Dahlan, saat dikonfirmasi Tempo, Sabtu 23 Juli 2011.

Dahlan mengatakan publik kesulitan mengakses informasi mengenai besaran anggaran yang ditaksir bisa mencapai ratusan miliar itu. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan terjadi penggelembungan terhadap anggaran yang akan diambil dari APBD DKI Jakarta itu. "Kami khawatir ada pemborosan anggaran," ujarnya.

Ia mencontohkan penggunaan logistik pemilu seperti bilik suara dan kotak suara yang dimungkinkan menggunakan 100 persen barang baru. Padahal, sisa logistik pemilu 2009 lalu masih bisa digunakan, sehingga berpotensi bisa menggelembungkan besaran anggaran pemilu. "Penganggaran seperti itu perlu kita waspadai," ujarnya.

ICW khawatir terhadap independensi calon incumbent yang akan maju karena seluruh anggaran yang akan digunakan dalam pemilihan ini seluruhnya berasal dari APBD setempat. "Yang jelas independensi bisa dipengaruhi melalui anggaran," ujarnya.

Lembaga penggiat antikorupsi ini mendorong DPRD DKI Jakarta bisa mengambil peran dengan mengoreksi anggaran yang akan digunakan, seraya berharap agar KPUD DKI Jakarta bisa berhemat dalam penggunaan anggaran di lapangan. "Peran mereka (Dewan) sangat dibutuhkan di sini," ujarnya.

Dalam beberapa kali perhelatan pemilihan gubernur DKI Jakarta, ICW menilai anggaran yang digunakan KPU cukup besar bila dibandingkan dengan 2 penyangga Ibu Kota, seperti Provinsi Jawa Barat dan Banten, didasarkan luasan DKI yang tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan kedua daerah itu.

Dahlan berjanji lembaganya akan terus memantau jalannya pemilihan gubernur DKI Jakarta ini hingga akhir, termasuk mengenai penggunaan anggaran yang dipakai. "Laporan BPK itu paling rentan soal dana pemilu," ucapnya.

Pemilihan yang akan digelar pertengahan tahun 2012 mendatang itu diprediksi akan berlangsung dalam 2 putaran dengan kandidat perwakilan partai politik dan perseorangan (independen). Beberapa nama yang sudah santer, yakni calon incumbent Fauzi Bowo, ekonom Faisal Basri, hingga pengamat politik Eep Saefulloh Fatah.

Estimasi anggaran tak kurang dari Rp 250 miliar. Angka itu untuk mengakomodasi jumlah pemilih yang tersebar di 16.800 TPS dengan total 151.200 petugas.

(tempointeraktif.com)

Diduga Korupsi, Bupati Kepulauan Mentawai Dicekal

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatra Barat (Sumbar) mencekal Bupati Kepuluan Mentawai Edison Saleuleubaja karena diduga korupsi dana Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) pada 2003-2004 Rp1,5 miliar.

"Sebagai langkah antisipasi agar oknum Bupati Kabupaten Kepuluan Mentawai tidak kabur keluar negeri, kami mengeluarkan surat pencekalan," kata Kepala Kejati Sumbar Fahmi di Padang, Jumat (22/7).

Menurutnya, surat pencekalan dikeluarkan Kejati Sumbar sejak 24 Juni lalu, selanjutnya diteruskan kepada Kejaksaan Agung. "Kami sangat hati-hati terhadap tersangka diduga melakukan korupsi. Untuk itulah, surat cekal dikeluarkan sehingga tidak akan mempersulit
pemanggilan oleh penyidik Kejati Sumbar," katanya.

Ia menambahkan, kasus korupsi yang diduga dilakukan Bupati Kepuluan Mentwai antara lain dalam pengadaan alat berat yang kini ditangani oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Tuapejat. Dalam kasus tersebut penyidik menemukan adanya indikasi kerugian negara Rp1 miliar lebih.

Pencekalan juga dilakukan terhadap tersangka korupsi lainnya, di antaranya mantan Bupati Solok
Selatan Syafriza dan mantan Bupati Solok Marlon Martua. "Mantan Bupati Solok Selatan Syafrizal dicekal setelah menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan daerah 2008 senilai Rp10,9 miliar," ujar Fahmi.

(mediaindonesia.com)

Aditjondro nilai Pemilu 2009 curang, di ulang saja

Penulis buku 'Cikeas makin menggurita,' George Junus Aditjondro mengatakan Pemilu 2009 seharusnya diulang karena adanya dugaan kecurangan, termasuk apa yang terindikasi dilakukan anggota KPU Andi Nurpati ketika itu.
Pernyataan itu disampaikan Aditjondro dalam acara diskusi dan bedah buku 'Cikeas makin menggurita,' sebagai kelanjutan dari buku 'Gurita Cikeas' yang ditulisnya sebelumnya. Menurut  dia, buku terbaru tersebut semakin mengukuhkan kebenarannya atas apa yang diungkap oleh Wikileaks dan dimuat di media Australia.

Dalam buku tersebut, dia mengurai lebih dalam soal pelanggaran dan kecurangan Pemilu 2009. Selain itu juga dipaparkan keberpihakan KPU yang memperkuat dugaan selama ini bahwa Andi Nurpati yang saat ini menjadi Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Partai Demokrat, terlibat.

"Gong dari buku ini adalah mempertanyakan kemenangan Demokrat dan kemenangan SBY, tidak sah. Pemilu harus diulang, dan pelaku-pelakunya harus didiskualifikasi," ujarnya.

Pada bagian lain dari buku itu juga diungkapkan soal penghitungan suara di Sumatera Utara yang dinilai melanggar ketentuan Pemilu. Penghitungan suara yang dilakukan di rumah Kapolsek dengan penerangan yang seadanya tersebut dinilai melanggar aturan. "Kemudian bagaimana adanya keterlibatan dana asing dalam pemilu," ujarnya.

Aditjondro juga menegaskan dalam buku itu soal kebobrokan Pemilu ini yang kemudian menjebloskan mantan Ketua KPK Antasari Azhar ke penjara. Antasari dijebloskan ke penjara dengan memaksakan tuduhan pembunuhan dan pelecahan seksual hanya karena ingin mengungkap soal IT KPU.

Menurut alumnus Cornell university, Amerika Serikat itu, ada beberapa hal baru dalam buku itu  yang menjadi kelanjutan dalam mengungkap skandal pemberian bailout ke Bank Century. Yang belum terungkap, kata George, salah satunya soal laporan dari PPATK.
(bisnis.com)

Tentukan Kenaikan Tarif Air, DPRD Batam Diduga Terima Suap di Restoran

Sopir Wakil Ketua DPRD Kota Batam, Provinsi Kepri Ruslan Kasbulatov membenarkan pertemuan direksi PT Adhya Tirta Batam (ATB) dengan pimpinan DPRD di sebuah restoran Jepang terkait rencana kenaikan tarif air bersih.

"Pertemuan itu memang ada dan saya yang mengantarkan bos ke sana," kata Bobby Fernando yang merupakan sopir Ruslan di Batam, kemarin.

Ia mengatakan dalam pertemuan tertutup itu, hadir unsur pimpinan antara lain Ketua DPRD Soerya Sardi, Wakil Ketua II dan III Zainal Abidin dan Aris Hardy Halim.

"Saya bersama dengan sopirnya Pak Zainal menunggu di luar, karena pembicaraan sangat serius," kata dia.

Ia membantah pernyataan sejumlah unsur pimpinan yang menyebutkan tidak ada pertemuan khusus dengan petinggi ATB untuk membahas rencana kenaikan tarif air.

Bobby juga mengatakan atasannya, Ruslan Kasbulatov, tidak dalam keadaan mabuk ketika memberikan pernyataan ada pertemuan khusus.

Ditanya mengenai upaya suap, ia mengatakan tidak tahu. "Kalau soal uang, saya tidak tahu," kata dia.

Menurut dia, Ruslan dan Surya Sardi hanya sekitar 45 menit dalam pertemuan itu. "Saya antar jam 19.15 WIB Dan jam 20.00 WIB, bos saya keluar dari pertemuan itu bersama pak Surya Sardi," kata dia.

Sedang Aris Hardy Halim dan Zainal Abidin tetap diruangan. Di parkiran mobil, ia melihat kendaraan milik Wakil Ketua III DPRD Aris Hardy Halim bernomor polisi BP 1971, Wakil Ketua II DPRD, Zainal Abidin dengan nomor plat BP12.

Di restoran, ia mengatakan sempat melihat Wakil Presiden Direktur PT ATB Benny Adrianto. Benny menggunakan kaca mata dan baju putih dan duduk dekat Aris.

"Saya sempat lihat, karena saya disuruh bos beli rokok," kata dia.

Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, Ruslan Kasbulatov menolak menjelaskan pertemuan tertutup itu. "Adu jangan dulu ya dek. Nanti yang lain aja dulu wawancara ya," kata dia.

Sebelumnya, Ruslan mengakui adanya pertemuan tertutup. Pernyataan itu disampaikannya kepada pengunjuk rasa yang menolak kenaikan tarif. Namun, pernyataan Ruslan dibantah pimpinan dewan yang lain.

Surya Sardi, menuding Ruslan sedang tidak sadar saat menyampaikan pernyataan itu. Dia membantah ada undangan makan-makan dari pihak ATB. Zainal Abidin dan Aris Hardy Halim juga membantah pertemuan itu.
(berita8.com)
Thursday 21 July 2011

Kemiskinan di Sulsel Berpotensi Naik

Rendahnya penyerapan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dikhawatirkan berdampak meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran di Sulsel.

Saat ini untuk APBD Sulsel sebesar Rp2,9 triliun, tingkat penyerapan anggaran oleh SKPD baru mencapai 38%. Sementara dana APBN Rp13 triliun, baru mencapai 45,46%. “Kalau penyerapannya rendah, berarti ada proyek infrastruktur yang belum jalan dan otomatis berdampak pada tidak tersedianya lapangan kerja.

Secara tidak langsung penyerapan APBD dan APBN memengaruhi tingkat kemiskinan dan pengangguran,” ungkap Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulsel Tan Malaka Guntur kepada SINDO di Kantor Gubernur, kemarin. Dengan tingkat penyerapan anggaran yang tidak melampaui 50%, sama sekali belum berdampak pada peningkatan perekonomian.

Apalagi, belum kelarnya sejumlah proyek pembangunan infrastruktur yang pendanaannya dinilai cukup besar, belum bisa menyerap tenaga kerja serta dan meningkatkan upah bagi kalangan masyarakat. “Karena itu,proyek dan program pemerintah dipacu sehingga triwulan III minimal 70%”. “Kalau tidak,itu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengaruhi angka kemiskinan serta membengkaknya pengangguran,” tuturnya kepada wartawan,kemarin.

Hingga saat ini masih terdapat 931.000 jiwa atau 11,6% masyarakat miskin di Sulsel. Sementara itu, dalam program Pemerintah Provinsi (Pemprov), ditargetkan penurunan angka kemiskinan hingga di bawah 10% pada 2012. Tan Malaka mengatakan, untuk mempercepat penyelesaian infrastruktur yang dibiayai APBN dan APBD,Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh kepala SKPD untuk merampungkan seluruh proses tender proyek.

Bappeda Sulsel juga akan membentuk tim khusus untuk memonitoring dan melakukan investigasi mengenai keterlambatan program serta proyek 2011 yang merupakan tanggung jawab langsung dari SKPD. “Tidak ada alasan tidak bisa menyelesaikan sampai 70% pada triwulan III/2011 ini.Yang jelas, itu tidak melanggar aturan dan sesuai aturan main yang telah kami sepakati.

Target ini harus tercapai,”ujar pria asal Jeneponto ini. Sehari sebelumnya, Bappeda melansir bahwa Sulsel belum mencapai target 50% dalam realisasi fisik penggunaan APBD dan APBN pada triwulan II.Hingga saat ini realisasi fisik yang dilaksanakan baru 48,43%,sedangkan APBN baru berjalan 45,46%.

Dari 67 satuan kinerja perangkat daerah (SKPD) di lingkup Pemprov Sulsel yang menggunakan APBD,dua di antaranya masih menunjukkan realisasi fisik yang angkanya di bawah 20%.Keduanya,yakni Biro Humas dan Protokol serta Biro Hukum dan HAM Sulsel. Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu’mang bahkan menginstruksikan Bappeda menginvestigasi penyebab sejumlah SKPD tersebut masih berada di bawah 20%.

(makassarterkini.com)

Alasan kenapa Singapura jadi tempat pelarian Koruptor Indonesia

Belakangan, aparat penegak hukum negeri ini seolah dibuat tak berdaya oleh sepak terjang dua orang tersangka dugaan korupsi: Nunun Nurbaeti dan Muhammad Nazaruddin. Belum selesai aparat mencari keberadaan Nunun, publik kembali dikejutkan dengan buronnya Nazaruddin.

Nunun, isteri mantan Wakil Kepala Polri Adang Darajatun, terjerat kasus dugaan suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 yang dimenangkan Miranda Gultom. Sedangkan Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.

Keduanya melarikan diri dari proses hukum yang seharusnya dijalani. Mereka buru-buru meninggalkan Indonesia sebelum sempat dicekal. Keduanya sama-sama memilih Singapura sebagai tujuan pelarian pertama. Nunun bertolak ke Singapura pada 23 Februari 2010 atau sekitar sebulan sebelum dicegah. Sementara Nazaruddin bertolak ke Singapura pada 23 Mei 2011 atau sehari sebelum dilarang ke luar negeri. Saat itu, status hukum keduanya belum tersangka. Hingga kini, jejak keduanya sulit terlacak.

“Kiprah” Nunun dan Nazaruddin bukan cerita baru. Sebelumnya, terdapat sederet nama terduga koruptor lain yang lebih dulu kabur ke luar negeri. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2001 tercatat 42 orang yang diduga terlibat kasus korupsi melarikan diri ke luar negeri.

"Ini merupakan daftar terduga, tersangka, terdakwa, terpidana, dugaan perkara korupsi yang diduga telah dan pernah melarikan diri ke luar negeri dari 2001 hingga saat ini," ujar aktivis ICW Tama S Langkun dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.

Yang menarik, sekaligus klasik, berdasarkan catatan ICW, sebagian besar pelarian tersebut memilih Singapura sebagai tempat singgah. Jaraknya hanya sejengkal dari Indonesia. Tapi, hukum Indonesia tak mampu mejamah mereka. Negeri Singa itu memang tempat pelarian favorit. Pertanyaannya, mengapa Singapura?

Mengapa Singapura?

Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana berpendapat, ada lima alasan yang menjadikan Singapura sebagai negara pelarian favorit para koruptor Indonesia. Pertama, banyaknya jadwal penerbangan menuju Singapura.

"Dalam satu hari setiap jam bisa ada Garuda, Singapur Airlines, belum lagi maskapai lainnya. Kalau saya dikejar, bisa tinggal langsung naik pesawat, berangkat," katanya.

Kemudahan akses ke Singapura tersebut, lanjut Hikmahanto, belum tentu didapatkan jika mereka memilih pergi ke negara anggota ASEAN lainnya seperti Thailand. "Apalagi sekarang ke Singapura bisa dari Bali dan Bandung," tamba dia.

Kedua, lanjut Hikmahanto, para pelarian tersebut mencontoh pelarian-pelarian sebelumnya yang cenderung memilih Singapura. Citra Singapura yang terkenal "ramah" untuk para pelarian membuat mereka memilih ke sana.

"Para koruptor melihat preseden atau contoh, tidak ada orang yang diminta pemerintah Indonesia dikembalikan oleh Singapura. Seolah pemerintah Singapura memberikan perlindungan, padahal belum tentu," katanya.

"Dia (Singapura) cuma bilang, kalau mau investasi akan dikasih permanent residence (izin tinggal tetap)," ujar Hikmahanto.

Ketiga, lanjutnya, dengan berdiam di Singapura, para pelarian itu masih dapat memonitor perkembangan di Indonesia. Akses komunikasi seperti televisi, BlackBerry, masih menjangkau Singapura. "Memonitor Indonesia dari Singapura itu mudah, bisa melalui TV, teknologi lain seperti BB, gampang. Kalau di Vietnam, Kamboja, tidak demikian," terang dia.

Keempat, katanya, Singapura merupakan lokasi yang mudah dijangkau dari Indonesia sehingga memudahkan pihak lain, seperti pengacara atau keluarga, menemui para pelarian. "Singapura sebagai tempat enak untuk bertemu berbagai pihak dari Indonesia, pengara dan lain-lain," ujarnya.

Dan, yang ke kelima, cita rasa masakan Singapura senada dengan lidah orang Indonesia. "Yang ini tidak terlalu penting, namun di Singapura bisa mendapat makanan yang sama dengan di Indonesia," kata Hikmahanto.

Selain itu, ia menambahkan, sebagai negara anggota ASEAN, Singapura menerapkan bebas visa bagi pendatang Indonesia yang memudahkan para terduga koruptor Indonesia masuk ke sana. Paling tidak, hanya dengan berbekal paspor para pelarian itu dapat menetap di Singapura selama maksimal 30 hari. Jika lebih dari 30 hari, menurut Hikmahanto, pada umumnya mereka meloncat ke negara lain terlebih dulu untuk sementara, kemudian kembali lagi ke Singapura.

"Supaya tidak ilegal (overstay), mereka (para pelarian) akan pergi dulu misalnya ke Johor (Malaysia), keluar beberapa jam, masuk lagi pada hari yang sama," ungkap Hikmahanto.

Jika si terduga korupsi memiliki banyak uang, tidak menutup kemungkinan jika dia membeli izin tinggal tetap di Singapura. Dia juga dapat memperpanjang izin tinggal sementaranya di Singapura dengan alasan berobat.

Kejati Sumbar Cekal Sejumlah Bupati Koruptor

Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, mencekal dua mantan bupati dan seorang bupati aktif di Sumatera Barat karena tersangkut kasus korupsi.

Berdasarkan keterangan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Bagindo Fachmi, salah seorang yang dicekal  adalah mantan Bupati Dharmasurya, Marlon Martua Situmeang  yang masuk ke dalam daftar pencarian orang. Marlon adalah tersangka kasus penggelembungan dana pembelian lahan RSUD Dharmasurya tahun 2008, senilai Rp4,5 miliar.

Mantan Bupati Solok Selatan Syafrizal juga dicekal  setelah menjadi tersangka kasus korupsi pengelolaan keuangan daerah 2008 senilai Rp10,9 miliar.

Cekal juga diberlakukan bagi Bupati Mentawai Edison Seleleubaja atas kasus korupsi provisi sumber daya hutan tahun 2005, senilai Rp1,5 miliar.
(metrotvnews.com)

ONGKOS POLITIK MAHAL- Kalla Akui Keluar Uang Rp120 M saat Pilpres 2009

Kemelut yang saat ini sedang melilit Partai Demokrat tak terlepas dari tudingan ada permainan uang dalam proses pemilihan ketua umum beberapa waktu lalu.Hal ini memancing mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk angkat suara.


Dalam diskusi bertema “Political Branding and Public Relations”di Kampus Pascasarjana Universitas Paramadina,Jakarta,kemarin, Kalla mengungkapkan, dirinya harus menggelontorkan dana sekitar Rp120 miliar sebagai biaya politik pencalonannya sebagai calon presiden (capres) pada 2009.

Mengapa kampanye politik saat ini sangat mahal? Menurut Kalla,itu karena jumlah penduduk dan luas daerah di Indonesia sangar besar.Sayangnya,hal ini tidak didukung dengan sistem penyelenggaraan demokrasi yang jelas.“Di samping itu, tentu saja biaya konsultan politik.Ini faktor utama mengapa ongkos politik mahal,”kata Kalla.

Dia menjelaskan,saat ini politik sudah menjadi industri. Kalau politik sudah menjadi industri,pasti akan ada ekspektasi dari pemodal agar modal dari ongkos politik yang dikeluarkan cepat bisa kembali.

“UU Politik juga membuat politik mahal.Dalam paket UU politik,yang boleh menjadi anggota partai bukan PNS dan TNI.Jadi kebanyakan yang berada di parpol adalah pengusaha.Kalau pengusaha sudah bersaing,akan mahal ‘barang’ politik itu,”paparnya.

Kalla memprediksi,pada Pemilu 2014,nilai ongkos politik bisa bertambah 10 kali lipat dari uang yang dia keluarkan pada 2009.“Saya lihat trennya,ongkos politik setiap hari terus naik.Padahal seharusnya tidak terjadi lagi pada Pemilu 2014 karena semakin mahal biaya politik, pasti bangsa yang menjadi korban,”tuturnya.

Dia bahkan melihat, ongkos politik yang harus dikeluarkan seseorang untuk menjadi ketua umum parpol juga sangat besar.Jumlahnya bisa mencapai 10 kali lipat dari ongkos politik yang dia keluarkan pada Pemilu 2004 dan 2009.“Salah satu faktornya karena political branding yang sekarang agak rumit,”ungkap Kalla.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan,kredibilitas penyelenggara pemilu juga berperan menjadikan pemilu sangat mahal yakni dengan membuka jalan untuk memperjualbelikan suara.

“Jadi perlu diperhatikan juga kredibilitas KPU dan KPUD. Lihat saja,banyak kasus jual beli suara yang terungkap belakangan ini,”tandasnya. Sementara itu,politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya mengemukakan, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi,kepala daerah,dan penyelenggara negara tidak lepas dari tingginya kebutuhan biaya politik.

Ini terlihat terutama saat-saat pemilu dan pilkada. “Di sisi lain,marketing instan justru menjadi pilihan politikus untuk mendongkrak popularitasnya.Jadi,tidak jarang partai membeli suara masyarakat melalui mekanisme pasar yang dinamakan money politic,”pandangnya.

Dalam persaingan seperti ini,kata Bima,partai atau calon yang kuat secara finansial bakal muncul menjadi pemenang.Akibat marketing instan itu pula, partai dan legislator cenderung menjadi abai dengan tanggung jawab kepada para konstituennya. “Bahkan sebagian partai dan calon terpilih justru sibuk untuk mencari sumber dana untuk menutupi biaya kampanye itu,” sesal Bima.

Kemarin diluncurkan pula buku Political Branding and Public Relationskarya Silih Agung Wasesa.Silih mengungkapkan, melalui buku ini,dia mengajak semua lapisan masyarakat untuk memikirkan bagaimana politik di Indonesia bisa lebih sehat, hemat,dan bermartabat.

Dia menyatakan,parpol cenderung tidak memiliki kedisiplinan dan konsistensi untuk membangun brand dalam jangka panjang.Melalui bukunya, Silih juga membahas bagaimana para pelaku politik bisa terlepas dari jebakan high cost campaign serta high cost politic, melalui pendekatan political branding dan public relations.

 “Hal utama yang sangat dibutuhkan partai di negara yang menganut asas multipartai adalah diferensiasi.Yang tidak kalah penting,bagaimana mencari cara untuk menciptakan konsumen atau konstituen bisa loyal membiayai partai,”tandasnya.

(seputar-indonesia.com)

Tak ada yang peduli Rahudman (Walikota Medan) korupsi

Kasus dugaan korupsi dengan tersangka Walikota Medan, Rahudman Harahap, terus terombang-ambing. Ibarat bola pingpong masing-masing lembaga yang tangani saling lempar tugas.

Jaksa Agung, Basrief Arief, yang ditemui sebelum rapat kabinet paripurna di kantor Presiden, hari ini, menyebutkan bahwa pihaknya telah meminta kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) untuk membuat laporannya. "Kita minta dari sana (Kejati Sumut) untuk mengajukan laporan, kemudian kalau memang sudah lengkap suruh ajukan izinnya," kata Basrief, kepada Waspada Online.

Padahal, menurut Kepala Kejati Sumut yang lalu, Sution Usman Adji telah menyelesaikan kelengkapan berkas kasus dugaan korupsi Rahudman tersebut. Bahkan, kasus itu telah sampai di tangan Sekretaris Kabinet untuk meminta izin pemeriksaan dari presiden.

Hal yang sama juga dengan disampaikan Kepala Kejati Sumut yang menggantikan Sution dua bulan lalu, AK Basyuni Masyarif. Ia menyebutkan, tim dari Kejati Sumut telah kerap ke Kejaksaan Agung di Jakarta untuk menuntaskan persoalan hukum tersebut. Permintaan untuk dilakukan ekspos perkara juga telah dilakukan oleh Kejati Sumut bersama Kejaksaan Agung dan Seskab. Ekspos perkara untuk menegaskan kembali berapa jumlah kerugian negara yang di korupsi.

Perbedaan pandangan juga terjadi terhadap proses audit. Kejati Sumut dan Kejaksaan Agung menyatakan telah meminta BPK dan BPKP melakukan audit kerugiaan negara terhadap dugaan korupsi di APBD Tapanuli Selatan saat Rahudman menjabat Sekretaris Daerah disana.

Namun belakangan, BPKP dan BPK mengaku tidak menerima laporan permintaan untuk melakukan audit terhadap APBD tersebut. Basrief pun kembali beralasan, "Itu nanti arahnya kesana. Makanya harus ditentukan dulu apakah ada kerugian negara atau tidak."

Padahal saat ini, Rahudman telah ditetapkan jadi tersangka dalam kasus Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa Tapanuli Selatan (TAPBD Tapsel) Tahun 2005 tersebut oleh di Kejati Sumut sejak 25 Oktober 2010 lalu. Dalam waktu sembilan sejak jadi tersangka tersebut, Rahudman belum diperiksa dengan alasan belum mendapatkan izin presiden. Izin presiden belum diajukan Kejagung karena berkas Rahudman masih perlu didalami lagi.

Ini bertolak belakang dengan proses kelengkapan berkas yang dilakukan oleh Kejati Sumut. Saat dijadikan tersangka, Rahudman diduga merugikan negara senilai Rp1,5 miliar. Namun dalam gelar ekspos di Kejagung sebagai salah satu pelengkap berkas, nilai dugaan korupsi yang dilakukan meningkat menjadi Rp13,5 miliar. Seolah-olah tidak peduli dengan kelanjutan proses hukum Rahudman yang sudah jadi tersangka, Kejagung kembali menyampaikan berkasnya belum selesai.

"Tersangka sih bisa saja, kelengkapan unsur itu harus dipenuhi dulu," pungkas Basrief Arief.

Seperti diketahui, kasus Rahudman Harahap merupakan salah satu dari 9 kasus korupsi kepala daerah yang didalam pengajuan izin pemeriksaannya. Kasus Rahudman masuk pada klasifikasi kedua, yakni kepala daerah yang memang izinnya belum diajukan ke presiden karena masih dalam tahap penyidikan.

Rahudman bersama dengan Bupati Kolaka, Buhari Matta, serta Bupati Kepulauan Mentawai, Edison Seleleobaja, merupakan kepala daerah yang sama sekali belum pernah diajukan izin pemeriksaannya. "Masih dalam tahap penyidikan, pengumpulan alat bukti," kata Basrief.
(waspada.co.id)
Tuesday 19 July 2011

Ini Blak-blakan Rosa Soal Nazar, Anas, dan Suap Wisma Atlet

Inilah untuk pertama kalinya Mindo Rosalina Manulang, tersangka kasus suap Wisma Atlet SEA Games XXVI, Palembang, bersedia diwawancarai panjang lebar. Bawahan M. Nazaruddin yang kini buron itu mengungkapkan banyak hal, mulai dari aksi bekas bosnya, Yulianis, hingga istri Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Beberapa keterangannya tidak ada dalam berita acara pemeriksaan. "Karena tak ditanya penyidik," ujarnya.

Berikut ini petikan wawancara Mindo dengan Tempo di Jakarta, awal pekan ini.

Bagaimana Anda mengisi waktu?
Baca buku filsafat, dari dulu saya suka baca buku filsafat.

Anda disebut M. El Idris (petinggi PT Duta Graha Indah, kini tersangka) berperan besar dalam aliran dana wisma atlet?
Tidak ada kesepakatan antara saya, Dudung (atasan El Idris), dan El Idris mengenai pemberian duit ke sejumlah pihak seperti dalam dakwaan El Idris. Kami memang pernah duduk berempat. Pak Dudung mengeluh (soal permintaan jatah dari daerah itu). Saya sampaikan, kalau Bapak memang tidak sanggup (memberikan), ya tidak usah.

Soal fee 13 persen ke Nazaruddin?
Kalau terkait angka 13 persen itu, saya tidak punya kapasitas menentukan sekian persen.

Pak Nazaruddin memantau semua proses pemenangan proyek itu secara khusus?
Sebenarnya sih enggak juga. Saya bilang sama Pak Dudung bagaimana masalah wisma atlet, bagaimana dengan orang Senayan (DPR)-nya? Nah, dari DGI itu sudah ada angka untuk si 'anu' (beberapa anggota DPR), nantilah saya sebutin (di pengadilan). Tapi, tidak perlu saya kasih tahu toh sekarang. Itu alasan kenapa saya juga tahu bahwa Pak Nazar sudah mengeluarkan uang dari perusahaannya untuk wisma atlet. (Sumber Tempo menyebutkan Nazaruddin sudah mengeluarkan duit Rp 20 miliar untuk memastikan proyek wisma atlet adalah proyeknya.)

Apa proyek memang sudah di-setting perusahaan Nazaruddin, Permai Group?
Pertama kali saya tahu ini, dia (Nazaruddin) bilang, "Coba Ros, kamu ke kantornya 'Pak Anu'. Saya (Nazaruddin) sudah ketemu ini, ini, ini--pimpinanlah di DPR." Sebelum anggaran turun, mungkin sudah ada deal di atas, cuma saya tahu ada permintaan (duit) dari Senayan.

Dari Senayan itu siapa?
Permintaan dari teman-temannya di Badan Anggaran. Saya di sana tidak pernah diperkenalkan sebagai karyawan, tapi sebagai kolega pengusahanya.

Penerima aliran dana di Senayan akan diungkap di persidangan?
Kalau BAP saya di-setting (tokoh besar) ditutup dan dibuka yang teri, ya akan lihat dulu di dakwaan. Ada poin di situ yang harus saya analisis. Saya kan banyak tahu. Di situ saya akan lihat kalau nanti di dakwaan yang itu (Rosa tak memerinci maksudnya) dihilangkan (atau) ada beberapa kata dihilangkan, berarti ini, ya, seremonial saja.

Kalau kelas teri saja yang ditahan?
Apa yang harus saya lakukan? Saya ini semut melawan gajah. Saya ini siapa?

Kata yang akan dihilangkan itu nama atau perkara?
Adalah nanti. Tunggulah pemeriksaan (persidangan). Saya lihat dulu dakwaan kepada saya. (Kalau) nanti ada di situ yang tidak masuk, (berarti) bisa benar, kata Pak Nazar. Wah, dulu sudah ada ini (rekayasa kasus oleh pemimpin KPK), sudahlah yang ini saja. (M. Nazaruddin menuding seorang pemimpin KPK ikut membangun kesepakatan dengan Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum.)

Apakah petinggi Demokrat juga disebut dalam dakwaan El Idris?
Itu enggak ada. Itu ada di BAP saya. Nantilah di BAP saya itu, seru kalau itu muncul.

Apa yang dimaksud AU itu Anas Urbaningrum? (Dalam percakapan BBM Rosa dan Nazaruddin tertulis "AU".)
Ya.

Apa Anda menyebut namanya nanti di persidangan?
Iyalah, enak aja. Kalau ditanya, akan saya ungkap. Kalau tidak ditanya ngapain, nanti saya dibilang kurang kerjaan.

Kenapa menunggu sampai ada pertanyaan di pengadilan?
Nantilah.

Selain Pak Anas, bagaimana dengan nama-nama lain?
Ya, enggak tahu deh, coba lihat ya. Saya satu rupiah pun tidak menerima itu, kenapa saya yang harus (dihukum). Jangan-jangan ini seperti dalam pleidoinya Panda (Nababan), ini pesanan. Sudahlah, Golkar sudah, Gerindra ada, PDIP, masak sih dari Demokrat enggak ada? Jadi, dicek siapa-siapa.

Apa kaitan Anas dengan PT DGI dan lainnya?
Sangat banyak.

Apa Anas dapat bagian dari 13 persen dari wisma atlet?
Ya. Tapi kan (sulit) membuktikan itu. Coba bagaimana? Namanya main-main begitu. Tentu tidak ada tanda buktinya. Tapi, pastilah akan ditanya mana buktinya? Saya mengerti posisi Pak Nazar loh. Bukan saya membela Pak Nazar. Siapa sih di belakang saya? Nazar. Siapa sih Pak Nazar itu? Kenapa dia bisa sampai ke sana? Kenapa dia bisa menyetir itu bla-bla-bla. Kalau tidak ada yang nyuruh, siapa dia? Tapi (orang yang menyuruh) itu kan semua orang tahu.

Nazar menuding Angelina, Mirwan Amir, dan I Wayan Koster?
Nantilah kita lihat. Typing-nya keluar atau tidak. Kan saya sudah bilang, ini rekayasa atau tidak, saya yang bisa menilai.

Soal Anas, Andi Mallarangeng, dan Angie sudah ditanya penyidik?
Oh, itu sudah ditanya, tapi di penyidik dan di persidangan kan bisa beda.

Siapa saja yang menyebutkan keterlibatan Anas?
Ya, nanti kalau itu dimunculkan, berarti ini fair.

Yang Anda maksudkan, kalau Anas tidak muncul di persidangan, berarti tidak fair?
Ya, itu tidak fair. Saya kasih tahu ya, saya, Anas Urbaningrum, Nazar, kami bertemu bertiga. Kata Nazar ke saya begini, "Kalau sesuatu terjadi dengan kamu, Ros, apa pun yang terjadi, ya kamu harus tanggung sendiri." Itu saya pegang. Karena apa? Saya bekerja, apa pun yang terjadi, itu risiko. Mungkin kalian juga seperti saya, mungkin akan bela pimpinan jugalah, mau penjahat seperti apa pun pimpinan saya, orang saya hidup dari dia, karyawannya ratusan. Soal cerita lain nantilah disampaikan. Tapi, saya itu loyal kepada pimpinan saya. Ketika pimpinan saya dianggap penjahat, saya tidak setuju.

Kapan pertemuan antara Anda, Nazar, dan Anas?
Saya tidak ingat.

Ini sekarang Anda merasa teraniaya?
Ya, sebel banget saya.

Anda pernah bicara dengan Anas?
Pernahlah, dulu sering. Tapi, pasti dia bilang tidak kenal. Waktu buka puasa bersama anak yatim, waktu ulang tahun anak Pak Nazar, ada dia pada sekitar 2010-an.

Nazar bilang ia hanya dikorbankan, sudah ada deal sebelumnya?
Saya yakin itu benar.

Jadi, Anda akan bongkar semua?
Bagi saya, apa yang ditanya penyidik, saya jawab.

Apa Anas punya beberapa perusahaan?
Ya.

Apa pernah di PT Anugrah?
Ya.

Kenapa tidak dibeberkan ke penyidik?
Karena tidak ada pertanyaan itu.

Anda tahu soal PT Dutasari Citralaras?
Yang ada istri (Anas)-nya. Jadi, memang benar juga, Nazar sih merasa sudah di-back up sama pimpinannya. Kalau dia di-back up, masak saya orang lapangan disuruh begini-begini. Berarti bohong kan semua? Saya pernah bilang, "Ngeri nih, saya, pekerjaan begini." Dia (Nazaruddin) bilang, "Tenang, Ros, kita sudah diamanin."

Awalnya Anda mengaku tak mengenal Nazar?
Ya, karena itu komitmen. Sebenarnya begini, soal dana yang Rp 3,2 miliar untuk Pak Wafid itu bukan perintah dari pimpinan. Itu spontan karena ada permintaan dari Kementerian untuk meminta dana bantuan.

Anda kecewa terhadap Nazar?
Tidak, karena sebelumnya saya sudah tahu pekerjaan ini risikonya besar.

Mau mengungkap semua?
Begini, loh, kita tahu Indonesia ini kan, apa iya ada keadilan, apakah pengadilan itu murni benar.

Soal pesan BlackBerry Nazaruddin apa tanggapannya?
Semua pernyataan di BBM itu 90 persen benar, dan itu nanti. Beberapa keterangan saksi itu ada juga di BAP saya. Kalau itu nanti tidak diungkapkan, benar sudah ada deal di antara petinggi di KPK.

Kenapa tidak dibongkar semuanya?
Saya ini enggak mau dipolitisasi. Saya ini bukan orang politik. Saya ini pekerja. Saya ini orang marketing, orang lapangan.

Anda kenal Yulianis?
Yulianis, orang ini ternyata dia itu sudah, apa namanya, sudah menjadi agennya. Ini sudah tidak benar ini orang. Makanya semua nanti akan saya bongkar. Kata-kata, semua dia yang pegang. Pak Nazar itu tidak tahu masalah uang, atau hal segala macam, semua itu di Yulianis. Tapi, kalau nanti banyak hal yang tidak terungkap, pasti datanya itu sudah diamankan, karena saya tahu Yuli dekat banget sama istri Anas. Kalau nanti di persidangan ada pencatatan yang tidak ada, pasti dia sudah di-calling oleh istri Anas disuruh menghapus semua data itu.

Kapan Yulianis dekat dengan istri Anas?
Sudah lama.

Yulianis sering ke rumah Anas?
Bukan sering lagi, dia memang sudah punya hubungan baik.

Siapa yang sering mendatangi?
Yuli.

Athiyyah (istri Anas) punya saham yang sama dengan Yulianis?
Ada perusahaan mereka berdua. Itu Yuli punya perusahaan juga tuh, dia diam-diam itu. Perusahaan dalam perusahaan, begitu loh. Sama suami Yuli juga.

(Dalam wawancara terpisah, pengacara Anas Urbaningrum, Denny Kailimang, menyatakan belum tahu masalah ini. "Mungkin saja [kenal Yulianis], bisa di mana saja [kenalnya]. Belum pernah [dengar perusahaan itu]. Kita tunggu persidangannya sajalah.")

Suaminya?
Lupa, nanti saya kasih tahu. (Rosa bercanda mengenai kondisi kesehatannya.)

Fakta-fakta dari Yulianis hanya mengarah ke Anda dan Nazar?
Ya. Dia bilang begini, saya dengan Nazar hanya sebatas pimpinan dan bawahan. Padahal, jelas-jelas juga kalau dilihat kapasitasnya, Yulianis punya wewenang (dalam hal) keluar-masuk uang, dia semua tahu kok.

Soal data itu?
Ada di eksternal hard disk, Yuli semua yang pegang.

Soal proyek Hambalang? (Nazaruddin menyebut Anas menerima aliran duit dari proyek ini untuk pemenangannya di Kongres Bandung.)
Itu nantilah.

Benarkah ada aliran dana Rp 5 miliar ke DPR?
Ya (sambil mengangguk).

(tempointeraktif.com)

14 Perusahan Migas Asing Suap Pejabat?

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang telah berkoordinasi dengan Ditjen Pajak agar segara menagih pajak ke-14 perusahaan asing migas senilai Rp1,6 triliun yang belum dibayar. KPK disarankan mulai menyelidiki adanya dugaan pelanggaran pidana korupsi yang melatari tidak dibayarkannya pajak itu.
 
“KPK bisa terus mengumpulkan bukti dan keterangan baik dari perusahaan maupun dari pejabat terkait seperti di Ditjen Pajak maupun BP Migas, mengapa ini bisa sangat lama tidak dibayarkan. Karena bisa saja muncul dugaan bahwa ini melibatkan pejabat terkait dengan perusahaan itu,” ujar Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) ketika dihubungi INILAH.COM, Senin (18/7/2011).

Sementara terhadap langkah yang dilakukan Ditjen Pajak yaitu dalam rangka segera menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) terhadap ke 14 perusahaan migas tersebut, lanjut Firdaus, KPK tinggal melakukan fungsi pengawasannya. “Sampai berapa lama ini akan dibayarkan,” ujarnya.

Berbeda dengan data yang disampaikan KPK sebelumnya, ICW sendiri memiliki data yang kemarin juga telah dipublikasikan yaitu adanya sebanyak 33 perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia yang belum melaksanakan kewajibannya membayar pajak mulai sampai dengan tahun 2008 hingga tahun 2010 yang total tunggakannya mencapai sekitar US $ 583 juta.

Melihat dari lamanya waktu tunggakan, menurut Firdaus, menjadi pintu masuk KPK untuk menyelidiki adanya dugaan pelanggaran pidana khususnya tindak pidana korupsi yang melatari para perusahaan migas sangat yakin untuk tidak membayar kewajibannya kepada negara.

“Apalagi kemarin pimpinan KPK, Haryono Umar menyatakan, bahkan ada perusahaan yang belum membayar pajak hingga menteri keuangan pemerintah kita sudah berganti sebanyak lima kali, ini kan sangat lama sekali. Apakah memang ada niatan untuk tidak membayar pajak yang kemudian melibatkan pejabat terkait,” ujar Firdaus.

Bahkan katanya, KPK seharusnya sudah mulai meminta bantuan kepada BPKP atau bahkan BPK untuk melakukan audit investigasi terhadap perusahaan-perusahaan pengemplang pajak untuk menemukan apakah ini ada kaitannya dengan pejabat di instansi terkait.

Dari 33 data yang dimiliki ICW yang berasal dari hasil audit BPK dan BPKP, setidaknya 15 perusahaan tersebut sebagai berikut:

1.CNOOC SES Ltd US $ 94,2 juta

2.ConocoPhillips (Grissik) US $ 84,7 juta

3.Petrochina Internastional Indonesia Ltd (Blok Jabung) US $ 62,9 juta
4.Mobil Exploration Indonesia Inc (blok Sumatera Utara Offshore) US $ 59,9 juta
5.VICO US $ 42,9 juta
6.ExxonMobil Oil Indonesia Inc US $ 41,7 juta
7.Premier Oil (Lauta Natuna A) US $ 38,3 juta
8.BP West Java Ltd US $ 35,1 juta
9.Star Energy US $ 17 juta
10.PT Pertamina EP US $ 16,9 juta
11.Chevron Makassar Ltd (Blok Makassar Strait) US $ 16,7 juta
12.JOB Pertamina-Golden Spike Indonesia Ltd US $ 11 juta
13.Premier Oil Natuna Sea BV US $ 9,2 juta
14.Chevron IND (Area East Kalimantan) US $ 8,7 juta
15.Petrochina Int'l (Area Tuban) US $ 7,6 juta.
(inilah.com)

Perkara Gubernur Kaltim-Kalsel Makin Kabur

Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak belum juga diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi pemberian izin dan pemanfaatan dana hasil penjualan saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Jaksa Agung Basrief Arief berdalih, pihaknya baru akan bersikap setelah ada kesimpulan hasil kajian tim Pidana Khusus (Pidsus) mengenai putusan terhadap petinggi PT Kutai Timur Energi (KTE) yakni Dirut Anung Nugroho dan Direktur KTE Apidian Triwahyudi.

"Perlu kajian mendalam karena ada pertentangan (putusan) satu dengan yang lain," kata Jaksa Agung Basrief Arief ditemui selepas mengikuti acara silaturahmi dengan wartawan menjelang Hari Bhakti Adhyaksa ke-51 di gedung utama Kejaksaan Agung, Selasa (19/7).

Seperti diberitakan, Pengadilan Negeri Sangatta, Kutai Timur pada Rabu (18/5), menghukum Anung karena terbukti bersalah menyalahgunakan uang hasil penjualan saham KPC miliki Pemkab Kutim senilai Rp 576 miliar. Anung kemudian dijatuhi hukuman penjara 5 tahun berikut denda Rp 300 juta, atau dikorting duapertiga dari tuntutan jaksa penjara 15 tahun berikut denda Rp 750 juta.

Sebaliknya Apidian dibebaskan dari seluruh dakwaan jaksa, sekaligus luput dari tuntutan selama 13,5 tahun dan denda Rp 500 juta. Kejaksaan kemudian banding terhadap putusan Anung dan mengajukan kasasi atas putusan bebas Apidian tersebut.

Saat ditanya apakah ini berarti kasus Awang akan terkatung-katung lama tanpa kepastian hukum sebab harus menunggu putusan Anung dan Apidian berkekuatan hukum tetap atau inkracht, mantan Wakil Jaksa Agung ini kembali menyebut semuanya tergantung kesimpulan kajian jaksa yang menangani perkara Awang. Basrif juga takkan menghiraukan jika nantinya muncul tudingan negatif terhadap lembaga yang dipimpinya.

"Makanya saya minta jaksanya untuk nelaah," elak Basrief. Disebutkan pula, dari 9 izin permohonan kepala daerah yang masuk bagian Pidsus, yang paling jadi perhatian penyidik adalah kasus Awang Faroek dan Gubernur Kalimantan Selatan Rudi Arifin, terkait korupsi pemberian dana santunan pembebasan lahan bekas pabrik kertas Martapura. "Malah yang Gubernur Kalsel lebih parah sebab 3 terdakwa lain dibebaskan sama MA (Mahkamah Agung). Makanya saya minta pengkajian juga," ungkap Basrief lagi.

Sementara Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Andhi Nirwanto, juga menolak menjawab pertanyaan apakah Awang akan kembali dilarang bepergian ke luar negeri (dicegah). "Belum. Masih lama itu, akhir bulan kan (habis masa pencegahan 28 Juli 2011)," kata Andhi yang juga mantan Kajati Kaltim tersebut.

Tak cukup disitu, mantan staf ahli JAM Pidsus ini menolak menjawab terkait adanya nota dinas berisi pertanyaan perpanjangan pencegahan Awang yang dikeluarkan JAM Intelijen Edwin Pamimpin kepada dirinya. "Saya nggak mau berpolemik," katanya sambil berlalu.

Izin pemeriksaan terhadap Awang sempat dilayangkan kejaksaan ke Sekab akhir 2010 lalu. Akhir Mei, Basrief akhirnya mengungkapkan Presiden tak menjawab permintaan pemeriksaan Awang, sehingga memaksa pihaknya untuk mengkaji kembali.

(JPNN.COM)
Monday 18 July 2011

Kepolisian Masih Dilindungi Mafia

Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti mengatakan bahwa saat ini di wilayah DKI Jakarta masih banyak mafia-mafia yang melindungi kepolisian yang mengakibatkan tidak maksimalnya polisi dalam menyelesaikan suatu kasus.

"Misalnya mafia korupsi, mafia yang terlibat dalam KKN, kemudian mafia narkoba, pungli," ucap Poengky, Senin (18/7/2011).

Dengan merebaknya mafia hukum di sejumlah institusi penegak hukum yang terkuak ke publik, tak terkecuali di institusi kepolisian dan sejumlah perwira yang diduga terlibat mafia hukum. Hal ini menimbulkan sikap keraguan publik di DKI  terhadap polisi.

Sebanyak 65,8 persen publik DKI meyakini bahwa polisi tidak bebas dari praktik mafia hukum dan 58,2 persen lainnya merasa tidak yakin polisi dapat memberantas mafia hukum.

Poengky mengatakan, Indonesia memang sudah meratifikasi konvensi anti-penyiksaan, sehingga seharusnya dalam setiap pendidikan, tidak boleh ada penyiksaan yang dilakukan pihak manapun. Namun yang terjadi adalah, terdapat angka 49,40 persen atau hampir 50 persen orang yang mengalami penyiksaan dalam proses sidik oleh kepolisian.

"Ini sangat menyedihkan karena sebetulnya dengan meratifikasi konvensi anti-penyiksaan, seharusnya Indonesia juga melakukan zero tolerant terhadap penyiksaan, itu yang harus digarisbawahi," ujarnya.

Menurut Poengky, masyarakat di wilayah Jakarta sudah terbuka dan media pers cukup aktif dalam melihat adanya mafia-mafia yang melindungi kepolisian. Namun, terdapat penyiksaan yang terjadi di daerah kecil lainnya.

"Bayangkan apa yang terjadi di Aceh, Maluku dan Papua. Mungkin 90 persen penyiksaan ada disana," kata Poengky saat ditemui di kantornya.

Pihak Imparsial berharap dengan adanya survei yang telah mereka lakukan mengenai persepsi masyarakat DKI terhadap kinerja polisi, dapat terjadi perubahan yang cukup mendasar dan serius yang akan dilakukan oleh aparat Kepolisian Indonesia.
(Kompas.com)

Gubernur Sumsel Bantah Terlibat Suap SEA Games

Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin membantah terlibat dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games XVI di Palembang dari PT DGI seperti yang sempat dikatakan Manajer Marketing PT DGI Mohammad El Idris dalam dakwaannya.

Alex mengatakan sudah ada kesepakatan internal dan ia tidak pernah menerima uang sebesar 13% dari Rp191,6 miliar.

"Kalau dicermati materi dakwaan, jaksa mengatakan bahwa ada kesepakatan internal PT DGI untuk mengalirkan dana. Jadi internal. Tanpa sepengetahuan saya, bukan atas permintaan saya dan saya tidak menerima. Itu saja," kata Alex yang ditemui saat Raker Komisi X bersama Menpora, Jakarta, Senin (18/7).

Dalam surat dakwaan untuk Manajer Marketing PT DGI Mohammad El Idris yang dibacakan jaksa Agus Salim di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, ada negosiasi antara Idris, Dirut PT DGI Dudung Purwadi, Mindo Rosalina Manulang, serta Nazaruddin.

Hasil negosiasi, disepakati pembagian uang kepada empat orang tersebut dari total nilai proyek senilai Rp191,6 miliar sebagai imbalan meloloskan proyek tersebut.

Namun, Alex membantah mengenal Rosa, El Idris, dan Dudung Purwadi, dan tak pernah bertemu dengan ketiga orang tersebut.

Ketika ditanya apakah siap diperiksa ataupun dipanggil KPK, Alex mengaku siap. Alex mengaku hingga saat ini belum menerima panggilan KPK untuk memberikan keterangan dugaan keterlibatannya atas kasus suap Wisma Atlet.

"Kalau saya dipanggil (KPK) pastilah. Harus dong. Kalau saya belum datang berarti belum dipanggil," ujarnya.

(mediaindonesia.com)
Sunday 17 July 2011

Kecurangan yang Kian Nyata

USULAN Bang Buyung, pendiri Constitution Centre Adnan Buyung Nasution (Concern ABN) agar Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR tidak hanya mencurahkan energi politik mengurusi kasus pemalsuan surat MK tapi juga harus bisa membongkar kecurangan Pemilu 2009 layak mendapat dukungan. Concern ABN menyatakan ada begitu banyak kecurangan pemilu yang pernah diberitakan tetapi kasusnya tidak dilanjutkan secara hukum. Terlepas dari posisi Andi Nurpati yang makin terpojok di hadapan rapat dengar pendapat Panja Mafia Pemilu dengan KPU dan Bawaslu, Pileg dan Pilpres 2009 menyisakan banyak misteri yang belum terungkap. Perhatian publik sekarang tertuju pada Polri untuk membongkar kecurangan Pemilu 2009.

Karut-marut daftar pemilih tetap (DPT) benar-benar mengeskalasi ketegangan politik sepanjang pemilu pada tahun itu.  Menegangkan, karena eskalasi terjadi 3 hari menjelang pencontrengan tanggal 8 Juli. Hal itu , akibat KPU tidak profesional menangani DPT dan tidak kooperatif terhadap masyarakat atau caleg ketika mempersoalkan DPT bermasalah ini. Banyak kritik pedas yang dilontarkan sebagai pemilu paling buruk Indonesia. Pernyataan itu pernah disampaikan 13 tokoh partai yang berkumpul di kediaman Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Wiranto, selaku Ketua Umum DPP Partai Hanura, mewakili tokoh parpol menyatakan, ’’Buruknya pelaksanaan Pemilu 2009 bisa dilihat dari banyaknya kecurangan yang terjadi secara masif hingga banyak warga tidak dapat menggunakan hak politiknya. Ini sungguh melanggar hak asasi dan konstitusi.’’

Dari pengalaman, Pemilu 2009 memang ada kelemahan menyangkut sistem administrasi penduduk yang menerapkan asas de jure, ternyata belum bisa diterapkan secara baik dan mandiri. UU Administrasi Kependudukan yang disahkan tahun 2006 dan diatur dengan PP Nomor 37 Tahun 2007, waktunya terlampau pendek sosialisasinya ke masyarakat sekaligus mengingatkan calon pemilih melaporkan status kependudukannya untuk mendapatkan hak pilih.

Hak Politik

Stelsel pasif itu ternyata gagal diterapkan dan jangan terulang pada Pemilu 2014. Belum ada standar baku sistem pemutakhiran data potensial pemilih (DP-4) menjadi daftar pemilih sementara (DPS). Semuanya bergantung pada inisiatif ketua RT/RW. Ada yang mendatangi rumah tangga secara langsung, tapi banyak penduduk merasa tidak didatangi meski ada daftar pemilih tambahan.

Selain itu, penggelembungan jumlah pemilih menjadi 171 juta (padahal data demografi hanya 161 juta) kemungkinan besar disebabkan duplikasi nama dan alamat pemilih dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang berbeda meski hanya beda 1 angka dari 16 digit (Adioetomo:2009). Belajar dari pengalaman Pemilu 2009, penggelembungan atau penghilangan nama calon pemilih dalam DPT jangan terulang. Waktu itu, puluhan juta warga yang punya hak pilih, punya KTP faktanya tetapi tidak terdaftar dalam DPT. Mereka tetap kehilangan hak pilihnya, akibat namanya tidak tertera. Fenomena itu masif terjadi baik di Jawa maupun luar Jawa.

Selain administrasi kependudukan itu ada beberapa hal yang layak diperhatikan. Pertama; karut-marut DPT adalah kekeliruan KPU sehingga KPU punya andil besar dalam DPT bermasalah. Kedua; kisruh DPT tidak boleh hanya dipahami sebagai masalah administrasi karena hal itu berarti pelecehan atas hak politik masyarakat. Mereka yang memahami sekadar administratif, pasti tidak paham bahwa bagian terpenting pemilu demokratis adalah terpenuhinya hak-hak politik pemilih. Tanpa itu, pemilu bisa dinilai sebagai cacat hukum.

Ketiga; kisruh DPT harus dipahami sebagai asal mula persoalan. Kisruh ini sebagai konsekuensi logis dari kekacauan administrasi penduduk. Menurut Eep Saefulloh Fatah (2009) tak satupun dari empat presiden pascareformasi yang mampu menata administrasi kependudukan secara baik dan benar. Pileg dan Pilpres 2009 dicederai oleh rendahnya kredibilitas data pemilih. Dicederainya hak pilih 49 juta calon pemilih ini merupakan puncak dari kisruh DPT yang masih akan terulang.

Keempat; ada persoalan lain yang terindikasi busuk, seperti jual beli suara di beberapa dapil, money politics, dana keuangan partai tidak transparan, hingga misteri data IT.  Semua itu layak direkonstruksi kembali oleh Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR.
(suaramerdeka.com)

Jimly: Pemilu 2009 Kacau

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, kualitas personal komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU Daerah yang kurang baik menjadi penyebab hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 terbilang kacau.

"Pertama di daerah-daerah itu, periode KPU yang sekarang ini kurang baik, kualitasnya kurang memuaskan sebagaimana mestinya. Makanya Pemilu-nya agak kacau," kata Jimly saat menghadiri acara 'Meneropong Indonesia Lewat Puisi' di Jakarta, Minggu (17/7) malam.

Menurut Jimly, kualitas komisioner KPU yang kurang mumpuni terlihat saat dirinya memimpin sidang etik anggota KPU. "(Kacau) Mulai dari aturannya, pesertanya, begitu juga penyelenggaranya banyak masalah," ujar Jimly.

Terkait kasus surat palsu MK yang menyeret nama mantan anggota KPU, yang kini menjadi pengurus di partai penguasa, Andi Nurpati, Jimly menilai kasus itu adalah cermin KPU bermasalah. "Nah, (kasus) Andi Nurpati ini salah satu cermin bahwa penyelenggara kita itu banyak masalah," tandasnya.

Tak hanya mengkritik, Jimly juga memberi masukan agar para penyelenggara Pemilu 2014 mendatang, tak mengulangi kesalahan yang sama.

Ia menyarankan Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu DPR tak melulu fokus pada kasus Andi Nurpati. "Karena itu, Panja itu harus menemukan apa saja yang keliru supaya jangan diulangi. Nanti, Pemilu 2014 ini harusnya menjadi pamungkas mengakhiri masa transisi kita," ujarnya.

Selain itu, Jimly juga mengingatkan DPR segera merampung revisi Undang-Undang Pemilu. "Karena 2012 itu harus selesai. Kalau bisa di dalam revisi undang-undang itu dibuat aturan bahwa dia (revisi) UU, tidak boleh lagi diuji, kalau tahapan sudah mulai dilaksanakan. Sehingga kalau diuji oleh pihak yang merasa tidak adil oleh Undang-Undang Pemilu, ya judicial review-nya pada 2012, sesudah itu kalau bisa tidak usah lagi. Supaya hukumnya stabil. Jadi, persiapannya menggunakan standar yang sama. Jangan lagi di tengah jalan diubah lagi," pintanya.
(jabar.tribunnews.com)
Saturday 16 July 2011

Peradilan Tak Bisa Diharapkan

Penguatan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bisa memutuskan sengketa administrasi pemilu dan pilkada sebagai kritik terhadap peradilan yang lemah pada pemilu lalu.

Direktur Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay mengatakan, problem utama dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada saat ini adalah lemahnya penegakan keadilan.

”Tak bisa dibantah bahwa keadilan pilkada dan pemilu adalah problem terbesar dalam demokrasi yang kita bangun. Politik uang, penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan, pelanggaran kampanye.Itu semua terjadi tanpa ada kejelasan penegakan hukum,” katanya di Jakarta kemarin.

Hadar mendukung ada penguatan Bawaslu dengan pemberian kewenangan untuk memutuskan sengketa. Penguatan ini juga sebagai otokritik terhadap peradilan yang pada masa lalu yang tak bisa menangani pelanggaran pemilu. Lebih jauh Hadar menjelaskan, Bawaslu harus diubah namanya menjadi Badan Penyelesaian Sengketa dan Pelanggaran Administrasi Pilkada dan Pemilu.

Jika peran Bawaslu sebatas pengawas dan pemberi laporan, tidak akan pernah ada kepastian penanganan pelanggaran. Bahkan mestinya Bawaslu juga harus diberi ruang memutuskan sanksi diskualifikasi calon jika memang terbukti melakukan pelanggaran. Meski demikian, Hadar mengingatkan bahwa Bawaslu harus dibenahi dan dipoles agar benar-benar kuat.

Komposisi dan struktur Bawaslu harus dibuat solid dan berisi para ahli hukum, ahli administrasi, dan para pakar terbaik yang berintegritas. ”Jadi kalau bicara penguatan Bawaslu, jangan di-bayangkan Bawaslu seperti kondisi sekarang. Sebab penguatan kelembagaan dan SDM Bawaslu bisa dilakukan melalui revisi UU yang sedang dilakukan,” ungkapnya.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR Chatibul Umam Wiranu mengatakan, pembahasan soal kewenangan Bawaslu memang masih terus dimatangkan. Saat ini yang menjadi pokok masalah adalah pemenuhan ada kepastian penegakan sengketa pemilu dan pilkada.

Di internal Komisi II DPR, ujar dia, masih ada tiga alternatif yang dikaji, yakni penguatan Bawaslu, pemberian kewenangan itu pada DK KPU, atau pembentukan pengadilan khusus pemilu dengan memanfaatkan infrastruktur dan sumber daya di pengadilan tiap daerah.

”Ini masalah yang terus dikaji. Sebab di sisi lain ada juga yang berpendapat bahwa Bawaslu dibiarkan karena tidak memiliki kekuatan. Pendapat lain juga menginginkan penguatan Bawaslu.Semua pendapat ini harus bermuara pada penegakan hukum pemilu dan pilkada,” tandasnya.

Sebelumnya anggota Bawaslu, Agustiani Sitorus, mengatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak mau terjebak dan hanya memperdebatkan masalah penambahan wewenang Bawaslu. Dia hanya ingin memberi kepastian bahwa setiap temuan dan rekomendasi pelanggaran pemilu dan pilkada harus ditindaklanjuti dan diputuskan hingga selesai.

Agustiani menjelaskan, fakta dan kenyataan selama ini menunjukkan bahwa setiap temuan pelanggaran pemilu dan pilkada yang direkomendasikan Bawaslu selalu mental dan tak ada yang terselesaikan. Kinerja Bawaslu yang susah payah membongkar ada pelanggaran pemilu dan pilkada bahkan hampir pasti mentok, karena tidak ada kekuatan yang memaksa agar pelanggaran itu ditindaklanjuti.

“Soal penambahan wewenang Bawaslu itu nomor sekian bagi kami.Yang kami tekankan hanya kepastian bahwa pelanggaran administrasi maupun pidana pemilu dan pilkada harus dijamin untuk diselesaikan hingga tuntas.

Bagi pihak yang tak sepakat Bawaslu diberi wewenang memutus perkara administrasi pemilu, tolong beri solusi dong agar ada lembaga yang wajib dan pasti menyelesaikan sengketa administrasi pemilu hingga eksekusi.Jangan hanya protes,”ungkapnya.

Bagi Agustiani, selama ini temuan-temuan Bawaslu hanya dipandang sebelah mata ketika direkomendasikan kepada pihak berwenang yakni KPU.Temuan Bawaslu bahkan berhenti sebagai temuan semata, sedangkan tahapan pemilu terus jalan hingga pelanggaran seolah menjadi hal biasa sebagai bagian dari proses pemilu.

“Kita kritis dan menemukan banyak pelanggaran, lalu lembaga KPU yang menjadi pihak pengeksekusi diam saja karena tidak ada kekuatan memaksa untuk menindaklanjuti. Kita bicara fakta yang banyak terjadi sekarang, bukan berandaiandai,” ungkapnya.

Sebelumnya Panja Revisi UU Pemilu menyepakati pemberian penguatan kewenangan bagi Bawaslu. Penguatan itu sebagai evaluasi terhadap peran dan fungsi badan ini pada saat mengawasi Pemilu 2009 kemarin.
(seputar-indonesia.com)
Friday 15 July 2011

KPK: 20 Kepala Daerah Tersangkut Korupsi

Fungsional Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irsyad Prakarsa mengatakan, hingga 2011 pihaknya sedang memproses 20 kepala daerah yang tersangkut korupsi. Kepala daerah yang dimaksud adalah gubernur, bupati, dan wali kota.

Di antara kepala daerah yang tersangkut korupsi adalah Bupati Tomohon, Bupati Pematang Siantar, dan Bupati Nias. “Penyidikan kepala daerah seperti Tomohon, Nias, Pematang Siantar sedang berjalan,” papar Irsyad di Balai Kota Surabaya, Jumat (15/7/2011).

Sebagian kasus tersebut terkait dugaan korupsi berupa mark up pengadaan. Kepala dinas yang mengetahui korupsi juga turut diperiksa. Sebab, mereka tahu tentang aliran dana itu.

Sementara kota besar seperti Surabaya memiliki kompleksitas, terutama tentang pemberian layanan publik pada masyarakat. Layanan publik harus bisa diterima masyakarat. Jika dalam pelaksanaannya masih ada indikasi korupsi, masyarakat yang dirugikan. “Yang penting layanan harus transparan, jangan sampai
ditutupi,” ujar Irsyad.

Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya Nanis Chairani menjelaskan, mulai Sabtu (16/7/2011) hingga Minggu (17/7/2011) KPK bersama Pemkot Surabaya mengelar Integrity Fair di Balai Kota Surabaya. Tujuannya, mengajak masyarakat dalam berperan aktif memberikan masukan dan informasi tentang pelayanan publik.

Begitu dengan seluruh instansi pelayanan publik di pemkot akan terlibat aktif untuk mensukseskan pelayanan publik. “Di acara ini, masyarakat nantinya bisa mengenal lebih dekat layanan publik,” kata Nanis Chairani.
(surya.co.id)

Mafia Hukum Diduga Bermain dalam Kasus Korupsi Bupati Kolaka

Bupati Kolaka Buhari Matta telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi dengan tuduhan menyalahgunakan kewenangannya mengeluarkan Izin Kuasa Pertambangan di kawasan Konservasi Taman Wisata Alam Laut (TWAL) pulau Lemo tanpa ada izin dari Menteri Kehutanan (Menhut).

Kuasa hukum Buhari, Egi Sudjana mengaku heran dengan sejumlah pemberitaan bahwa kliennya sudah ditetapkan tersangka sementara belum ada pemeriksaan. Dia menduga adanya intervensi pihak ketiga atas penetapan tersangka kliennya tersebut oleh jaksa.

"Belum diperiksa tapi sudah tersangka bahkan di media ramai diberitakan. Saya mau minta klarifikasi klien kami tidak pernah sekalipun dipanggil sebagai saksi dalam proses penyidikan," ujar Egi di kantor Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jaksel, Kamis (14/7/2011).

Egi datang ke Kejagung untuk menyerahkan surat kepada Jamwas Marwan Effendy terkait klarifikasi tentang penanganan oleh jaksa dalam kasus pengelolaan serta pemanfaatan low Grade Saprolite PT INCO di Blok Pomala oleh PT Kolaka Mining Internasional.

"Tidak benar apa yang dituduhkan tersebut dan sebagai bentuk itikad baik dari klien kami dengan ini kami sampaikan klarifikasi atas kebijakannya menerbitkan ijin kuasa pertambangan di pulau Lemo, dimana dalam pengambilan kebijakan tersebut telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," terang Egi.

Sementara itu, Kapuspenkum Kejagung Noor Rachmad mengatakan, terkait kasus ini, pihak penyidik Kejagung telah mengajukan pencegahan terhadap Buhari, karena dikhawatirkan akan melarikan diri.

“Pencegahan atas Buhari agar tidak ke luar negeri merupakan salah satu langkah untuk memperlancar penyidikan oleh penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)," kata Noor pada kesempatan berbeda.

Buhari diduga telah menyalahgunakan kewenangannya dengan memperkaya diri sendiri sehingga negara dirugikan hingga mencapai Rp 5 milliar.
(okezone.com)
Thursday 14 July 2011

BPS: 1,48 Juta Jiwa Penduduk Sumut Dibawah Garis Kemiskinan

Lebih dari 1,48 juta penduduk Sumatera Utara masih hidup di bawah garis kemiskinan, dimana hampir seluruhnya memiliki gaji dibawah Rp 247 ribu perbulannya. Jumat (15/7)

Namun harus diakui, tidak seluruhnya penduduk tersebut dipastikan memiliki berbagai perangkat atau program perlindungan sosial yang seharusnya menjadi hak merek, seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Raskin dan berbagai program perlindungan sosial lainnya.
 
Sebagai agenda wajib untuk menanggulangi kemiskinan di Sumut, Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara melakukan sosialisasi Pendataan Program Perlindungan Sosial 2011 (PPLS) sebagai upaya dalam mendukung Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai oleh Wapres Boediono. Pendataan ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menghindari adanya kesalahan penerimaan program perlindungan sosial yang kerap salah sasaran.

"Untuk merealisasikan sistem penargetan program perlindungan sosial yang terukur, kita akan menggunakan basis data yang sama, yaitu 40 persen masyarakat kelas menengah kebawah secara nasional, ujar Kepala BPS Sumut, Suharno dalam acara sosialisasi PPLS 2011 yang berlangsung di Hotel Emerald Garden.
(tribunnews.com)
Thursday 30 June 2011

MA akan Kabulkan Kasasi Agusrin?

liansi Masyarakat Berantas Koruptor menuding ada mafia hukum yang terus bekerja untuk meloloskan Agusrin M Najamuddin dari 'jerat' hukum. Saat ini mafia hukum tersebut masih terus bekerja di tingkat kasasi.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Regional Jakarta, Hendrik D Sirait, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (28/6).

Menurut Hendrik, Kasus Dispenda Gate dengan terdakwa Agusrin M Najamuddin saat ini sudah memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun keyakinan Agusrin divonis bebas menguat lagi.

Yang berkembang di Bengkulu saat ini, lanjutnya, Agusrin bakal lolos kembali dari jerat hukum. Bahkan Agusrin juga sudah 'menuntut' kembali ke jabatannya.

'Sandarannya' Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana pasal 244. Di mana 'terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan lain selain MA, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada MA kecuali terhadap putusan bebas'.

Jika hakim di MA menggunakan logika ini, dapat dipastikan kasasi jaksa penuntut umum bakal ditolak. Pasalnya penuntut umum sejak awal sudah mengaburkan tuntutan yang membuat dakwaan menjadi lemah. Begitu pula hakim yang tak menggali bukti- bukti baru.

"Kami menduga jaksa penuntut umum dan hakim terlibat dalam mafia ini. Artinya Agusrin bisa menghirup kebebasan kembali," tegas Hendrik.
(republika.co.id)

Penangkapan KPK di Bandung Hakim Perempuan Diduga Terima Suap Rp200 Juta

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malam ini (30/6) kembali melakukan penangkapan terhadap seorang hakim di kawasan Bandung, Jawa Barat yang diduga menerima suap Rp200 juta.

Selain menangkap tangan seorang hakim perempuan, penyidik KPK juga menangkap seorang laki-laki yang diduga sebagai pihak swasta.

"Kabarnya begitu, tapi saya belum bisa memastikan," kata Kepala Bidang Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha dalam pesan singkat yang diterima mediaindonesia.com, Jumat (1/7).

Namun sayangnya ia belum dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai identitas hakim tersebut dan kronologis penangkapan yang bersangkutan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Media Indonesia, diketahui kalau hakim perempuan tersebut berinisial ID. Ia adalah Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Bandung. ID ditangkap bersama seorang pegawai swasta yang diduga sebagai pemberi suap.

"Hakimnya perempuan," ujar sumber yang enggan disebutkan namanya.

Penangkapan itu sendiri terjadi sekitar pukul 19:30 di kawasan Bandung. Setelah ditangkap mereka langsung dibawa ke Jakarta dan baru tiba di kantor KPK (Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan) sejak pukul 22:45 WIB. Pada penangkapan tersebut penyidik menemukan uang sebesar Rp200 juta yang diduga sebagai uang suap. Hingga kini keduanya masih menjalani pemeriksaan di kantor KPK.
(mediaindonesia.com)
Saturday 25 June 2011

Satgas TKI Tak Akan Efektif seperti Satgas Anti-Mafia Hukum

Politikus Partai Golkar, Bambang Soesatyo menilai, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) tenaga kerja Indonensia (TKI) tidak akan efektif sebagaimana halnya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum serta satgas-satgas lainnya. 
Menurut Bambang, Satgas TKI hanya akan menambah beban keuangan negara. Sementara, kementerian terkait tidak dapat berbuat banyak menangani persoalan TKI.

“Jika Kemenlu, Kemenakertrans, serta BNP2TKI, saja tidak bisa berbuat banyak, kita juga tidak bisa berharap banyak dengan Satgas TKI,” ujar Bambang kepada okezone, Jumat (24/6/2011).

Pembentukan Satgas, lanjut Bambang, masih jauh dari kata sukses. Hal ini tercermin dari Satgas Anti Mafia Hukum yang belum dapat mengungkap kasus hukum secara tuntas.

“Kita sama-sama tahu bahwa bukan kali ini saja SBY membentuk Satgas. Nyatanya, hasil kerja sejumlah Satgas yang dibentuk SBY masih jauh dari harapan. Lihat saja, kinerja Satgas Mafia Hukum. Hingga kini, jangankan menumpas mafia hukum, mengungkap satu kasus mafia hukum secara tuntas saja belum ada yang berhasil. Janganlah terus menerus Satgas dibentuk tanpa hasil yang jelas,” tegasnya.

Seperti diketahui, dalam jumpa pers di Kantor Kepresidenan, Kamis kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Satgas penanganan TKI bermasalah. Satgas ini akan bertugas mengadvokasi para TKI yang mengalami masalah hukum, terutama yang akan menghadapi hukuman mati.
(okezone.com)

Makin Banyak Penjahat Jadi Pejabat

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Riyanto mengatakan, saat ini semakin banyak penjahat jadi pejabat. Hal itu merupakan akibat dari maraknya praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah. Kondisi tersebut berdampak pada semakin sulitnya pemberantasan tindak korupsi di Indonesia.

"Jangan pilih penjahat jadi pejabat. Namun, kini banyak penjahat yang jadi pejabat. Sistem politik kita yang sarat money politic menjadikan pemberantasan korupsi semakin sulit dilakukan," kata Bibit saat memberikan pengarahan kepada 234 lulusan baru Profesi Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) di Graha Sabha Pramana, Sabtu (25/6/2011).

Menurut Bibit, adanya praktik politik uang menyebabkan masyarakat diajari pragmatisme dalam memilih kepala daerah. Padahal, kepala daerah yang terpilih karena politik uang tersebut besar kemungkinan menjadi koruptor karena ingin mengembalikan uang yang dikeluarkannya saat pemilihan.

"Selain itu, kita juga temukan, bahwa semakin banyak juga pejabat yang kaya karena hibah," katanya.

Bibit mengakui, pengalaman selama tiga tahun menjadi wakil pimpinan KPK, korupsi di Indonesia terus terjadi secara sistematik dan meluas ke semua sektor. Akibat yang ditumbulkannya tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga hak sosial ekonomi masyarakat.

"Korupsi merupakan kejahatan luar biasa, sehingga pemberantasannya pun juga harus dilakukan secara luas biasa. Korupsi masih marak dan masif di masyarakat karena korupsi dianggap hal biasa. Mulai dari pengurusan KTP hingga SIM sudah ada praktik korupsi," ujarnya.

Besarnya praktik korupsi tersebut juga ditandai dengan banyaknya jumlah pengaduan masyarakat ke KPK.

"Pengaduan yang disampaikan ke KPK mencapai 48.206 pengaduan. Laporan yang masuk berasal dari hampir setiap strata sosial," tuturnya.

Bibit meyakini, perilaku korupsi di Indonesia merupakan fenomena gunung es di lautan, yang kerap terungkap hanya sebagian kecil dari realitasnya. Menurutnya, peran akuntan akan semakin penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal itu karena akuntan dapat mengaudit berapa nilai kerugian Negara yang ditimbulkan dari praktik-praktik korupsi. Bahkan, akuntan juga mampu melakukan mitigasi dan pencegahan terjadinya korupsi.

"Untuk itu, akuntan harus punya integritas dan kompetensi, jangan sampai dimanfaatkan untuk memanipulasi data keuangan. Karena banyak kasus korupsi yang modusnya dengan penggelembungan dan manipulasi data keuangan," tuturnya.
(kompas.com)

SBY Tak Lagi Didengar Kader Demokrat

Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Nazaruddin membuat perpecahan di Partai Demokrat semakin terlihat jelas. Ironisnya, para kader Demokrat saat ini dinilai sudah berani membangkang kepada Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono.

Pembangkangan ini nampak saat Demokrat belum berhasil membawa pulang Nazaruddin dari Singapura. Padahal, SBY secara tegas meminta agar eks bendahara Demokrat itu dipulangkan dan kasusnya segera diusut secara terang benderang.

“Pembangkan di Demokrat pertanda SBY telah gagal membina kadernya, karena kan SBY Ketua Dewan Pembina Demokrat. Sekarang SBY tak lagi didengar kadernya,” kata pengamat politik Adhie Massardi kepada okezone, Jumat (10/6/2011).

Adhie menambahkan, perpecahan di Demokrat memang sudah terjadi sejak lama. Namun, dengan munculnya kasus Nazaruddin membuat konflik di partai pemenang tersebut semakin jelas terlihat.

“Perpecahan dan pembangkangan ini terjadi karena Demokrat tidak memiliki ideologi dan patronase yang jelas. Rata-rata kader Demokrat bersikap pragmatis. Mereka bergabung hanya untuk mencari perlindungan dan keuntungan,” tandas eks Juru Bicara Presiden KH Abdurrahman Wahid ini.

Sebagaimana diketahui, Presiden SBY kerap mengampanyekan akan memberantas korupsi dan menjadikan hukum sebagai panglima. Ironisnya, seruan SBY tersebut tidak sejalan dengan apa yang dilakukan sejumlah kadernya yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.

Berikut sejumlah kader politisi Demokrat yang tersandung perkara korupsi.

1. RE Siahaan, bekas Wali Kota Pematang Siantar menjadi tersangka dugaan korupsi APBD tahun 2007. RE ditahan KPK sejak 8 Juni kemarin.

2. Djufri, anggota DPR dari Fraksi Demokrat ditahan Kejaksaan Tinggi (Kejati) karena kasus dugaan korupsi pengadaan tanah semasa menjadi Wali Kota Bukittinggi pada 2007.

3. Amrun Daulay, tersangka di KPK dalam kasus korupsi impor sapi dan mesin jahit. Kasus ini terjadi saat anggota Komisi II DPR Fraksi Demokrat itu menjabat Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial di Kementerian Sosial.

4. As'ad Syam, anggota DPR Fraksi Demokrat. Mahkamah Agung dalam putusan kasasi memvonis As'ad empat tahun penjara karena terbukti bersalah dalam perkara korupsi proyek pembangunan jaringan listrik PLTD Sungai Bahar, Muarojambi pada tahun 2004.

5. Jhoni Allen Marbun. Wakil Ketum Partai Demokrat ini terganjal kasus dugaan suap dana stimulus proyek infrastruktur di wilayah timur Indonesia. Jhoni pernah diperiksa KPK sebagai saksi untuk Abdul Hadi Djamal terpidana kasus suap tersebut. Jhoni yang membantah menerima uang Rp1miliar dari pengusaha Hontjo Kurniawan, kini kasusnya masih diselidiki KPK.

6. Agusrin Najamudin, Gubernur nonaktif Bengkulu. Pimpinan daerah Partai Demokrat ini divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas kasus dugaan korupsi dana pajak senilai Rp21 miliar. Belakangan, desakan agar KPK menyelidiki vonis bebas itu menguat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut sejumlah kejanggalan dalam vonis itu pasca tertangkapnya hakim Syarifuddin Umar yang menjadi ketua majelis hakim perkara Agusrin.

7. Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat. Statusnya masih sebagai saksi dalam dua perkara yakni dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional dan suap proyek wisma atlet SEA Games.
(okezone.com)
Thursday 23 June 2011

Surat Palsu: Pengalihan Isu baru dari Isu Suap Nazarudin ke MK

Bekas Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi, menegaskan tak tahu menahu adanya surat palsu terkait penetapan Dewi Yasin Limpo sebagai anggota DPR dari Sulawesi Selatan. Arsyad menuding isu ini digelontorkan untuk mengalihkan kasus dugaan suap Sekjen MK, Djanedjri M Gaffar.

"Ini pengalihan isu dari kasus suap itu," kata Arsyad Sanusi kepada VIVAnews.com, Rabu 22 Juni 2011.

Kasus suap yang dimaksud adalah pemberian Sin$120 ribu yang diterima Djanedjri. Uang itu diterima dari bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

Arsyad pun menanyakan kenapa uang yang diterima Djanedjri itu tidak langsung dikembalikan saat itu juga. "Kenapa uang itu sempat diinapkan dan baru dikembalikan setelah disuruh oleh Ketua MK," ujarnya.

Mengenai tudingan pembuatan surat palsu, Arsyad mengakui, Staf Juru Panggil MK, Mashuri Hasan, datang ke rumahnya pada 16 Agustus 2009. Namun, dia tidak mengetahui kenapa Hasan tiba-tiba datang ke rumahnya saat itu.

Menurut Arsyad, kedatangan Hasan ke rumahnya untuk membuat konsep jawaban atas surat KPU mengenai sengketa Pemilu di Sulawesi Selatan. "Saya bilang, agar dia membuat konsep itu sesuai dengan putusan, jangan ditambah ataupun dikurangi. Karena kalau mengubahnya berarti menjual MK," ujarnya.

Arsyad mengaku tidak mengetahui apa yang dibuat oleh Hasan saat itu dengan menggunakan komputer jinjingnya. "Saya tidak tahu apakah dia membuat surat atau tidak, karena itu ada di laptopnya. Dan dia di rumah saya hanya sekitar dua jam saja," ujarnya.

Jika kemudian, ada tuduhan bahwa saat itu, konsep surat palsu itu dibuat pada saat pertemuan itu, Arsyad mengaku tidak tahu. "Tidak benar itu, saya sendiri tidak mengetahui bentuk surat yang dibilang palsu itu. Saya juga tidak tahu bentuk permintaan KPU seperti apa," ujarnya.

Arsyad menyatakan siap memberikan keterangan mengenai tudingan itu ke Panja Surat Palsu di DPR maupun di polisi. Bahkan Arsyad siap bersumpah tidak terlibat surat palsu itu. "Pak Sekjen dan Pak Ketua (Mahfud MD) telah melakukan pembohongan besar. Saya harap panja memanggil saya, polisi juga. Saya akan jelaskan semuanya," ujarnya. "Setelah saya menjelaskan ke panja dan polisi, saya akan ambil langkah hukum atas tuduhan tersebut."
(vivanews.com)

Sekaligus Tiga Pejabat Sragen jadi Tersangka Korupsi

Mantan Bupati Sragen berinisial UW yang menjabat selama dua periode ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dalam kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan keuangan kas daerah terkait APBD 2003-2010.

"Kami juga menetapkan mantan sekretaris daerah berinisial K dan SW yang menjabat kepala bagian kas daerah Pemkab Sragen sebagai tersangka dalam kasus korupsi ini, namun ketiganya belum dilakukan penahanan," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Widyopramono, di Semarang, Rabu (22/6).

Menurut dia, penetapan ketiga tersangka tersebut setelah melakukan penyelidikan sejak Maret 2011 berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat.

Ia mengatakan kasus korupsi ini bermula ketika tersangka UW membutuhkan dana untuk kepentingan di luar kedinasan, dan akhirnya bersama dengan tersangka K serta SW memindahkan dana dari kas daerah Kabupaten Sragen ke bentuk deposito di perusahaan daerah BPR Djoko Tingkir dan BPR Karangmalang.

"Pemindahan dana secara bertahap di BPR Djoko Tingkir sebanyak 38 kali dengan jumlah keseluruhan Rp29 miliar yang terbagi dalam 38 lembar sertifikat deposito serta telah digunakan sebagai jaminan pengajuan kredit atas nama pemerintah daerah setempat," ujar Kajati didampingi Asisten Pidana Khusus Setia Untung Arimuladi.

Dalam melakukan penyelidikan, tim jaksa penyidik Kejati yang diketuai Nurmulat juga menemukan 108 surat perjanjian kredit dengan total pinjaman sebesar Rp36 miliar.

Pemindahan dana dari kas daerah Kabupaten Sragen juga dilakukan ke BPR Karangmalang secara bertahap mulai 2006 sampai dengan 2010 sebanyak delapan lembar dan juga dijadikan agunan kredit dengan total Rp6 miliar.

"Total pinjaman seluruhnya mencapai Rp42 miliar," katanya.

Menurut Kajati, uang hasil pinjaman dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah seharusnya dimasukkan dan dicatat dalam kas daerah yang dikelola melalui mekanisme APBD, tidak untuk membiayai kegiatan diluar kedinasan.

"Perbuatan ketiga tersangka melanggar beberapa ketentuan, antara lain Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara," ujarnya.

Penyalahgunaan dalam pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sragen tahun anggaran 2003-2010 tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp40 miliar.

"Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," katanya.
(mediaindonesia.com)

Hadiah Bui 17 Bulan untuk Panda

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan vonis 17 bulan penjara kepada Panda Nababan. Majelis menilai politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu terlibat dalam kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Selain Panda, Majelis Hakim juga menghukum tiga politisi PDI Perjuangan lainnya, yakni Engelina Pattiasina, M Iqbal, dan Budiningsih dengan hukuman yang sama. "Menyatakan terdakwa satu, dua, tiga dan terdakwa empat terbukti melakukan tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim, Eka Budi, saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu 22 Juni 2011.

Selain hukuman pidana penjara, Hakim juga menghukum Panda cs dengan membayar denda masing-masing sebesar Rp50 juta, dengan ketentuan jika tak mampu membayar diganti pidana kurungan 3 bulan.

Menurut majelis hakim, hal yang meringankan para terdakwa bersikap sopan, koperatif dalam persidangan, mengabdi pada negara, memiliki masalah kesehatan, memiliki tanggungan, tidak pernah dihukum dan untuk terdakwa 1 Panda masih dibutuhkan pemikiran dan pengalamannya untuk kemajuan hukum di Indonesia. Sementara yang memberatkan terdakwa tidak menerapkan unsur ketidakhati-hatian dalam menjalankan tugas dan merusak citra Dewan Perwakilan Rakyat .

Hukuman ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yakni selama tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan hukuman terhadap Engelina Pattiasina, M Iqbal, dan Budiningsih, juga lebih ringan dibanding tuntutan jaksa 2,5 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 4 bulan penjara.

Panda Banding

"Masya Allah," kata Panda berteriak begitu ketua majelis hakim Eka Budi selesai membacakan vonis di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Rabu 22 Juni 2011.

Usai sidang, Panda menyatakan banding atas vonis 17 bulan karena ikut menerima suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004 lalu. Panda menilai, majelis hakim yang diketuai Eka Budi telah memanipulasi fakta-fakta di persidangan. "Saya sangat sedih. Pak Andi dan Pak Made rupanya main voting, bukan main kebenaran," katanya menyebut dua hakim anggota lainnya.

Panda menuturkan, tak ada fakta di persidangan yang menyebutkan dirinya menerima maupun membagikan cek kepada rekan-rekannya sesama fraksi. "Betul-betul saya dizalimi. Saya hanya bisa mengatakan, masya Allah," ujarnya.

Dia menambahkan, yang paling aneh dalam pembacaan putusan hakim terdapat kata-kata baru yaitu ia disebutkan terlibat soal peredaran. "Itu tadi hakim ketua yang mengatakan. Peredaran apa? Narkoba? Peredaran video bajakan? Putusan hakim tidak berdasarkan fakta," ujar Panda yang malang-melintang beberapa periode di Komisi Hukum DPR itu.

Atas putusan itu, Panda secara tegas akan melakukan banding. "Saya tidak terima. Saya harus banding. Tidak sesuai fakta."

Bukan hanya itu, Panda mengancam melaporkan hakim yang mengadilinya ke Badan Pengawas Mahkamah Agung. "Ini hakim karir, saya kecewa sekali," ujar Panda.

Kekecewaan Panda lantaran majelis hakim tidak mengungkapkan pengakuan seorang saksi, Fadilah, sebagai fakta persidangan dan keputusan majelis hakim seolah berdasarkan voting. "Fakta persidangan dimanipulasi, saya sedih, betul-betul dizalimi," ujarnya.

Menariknya, putusan atas Panda dan tiga kawannya ini mirip dengan putusan atas empat politisi PDI Perjuangan lainnya dalam kasus yang sama pada Rabu pagi. Empat politisi PDI Perjuangan yaitu Ni Luh Mariani, Sutanto Pranoto, Suwarno, dan Matheos Pormes juga sama-sama divonis penjara 1 tahun 5 bulan alias 17 bulan. Selain hukuman penjara, mereka juga dikenakan denda Rp50 juta subsider 3 bulan.

"Terdakwa 1, terdakwa 2, terdakwa 3 terdakwa 4 telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi secara besama," kata Ketua Majelis Hakim, Suwidiya, saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Seperti halnya Panda, hal yang meringankan bagi keempat terdakwa adalah bahwa yang bersangkutan belum pernah dihukum, memiliki tanggungan dan mengabdi cukup lama untuk negara. Sementara yang memberatkan tidak menerapkan unsur ketidak hati-hatian dan merusak citra DPR.

Vonis Hakim jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa, sebelumnya Jaksa menuntut keempatnya dengan pidana penjara selama 2,5 tahun dan denda Rp50 juta. Namun atas putusan itu para terdakwa sepakat untuk pikir-pikir.

Politisi Golkar

Kasus cek pelawat itu juga menyeret para politisi Golkar ke penjara. Sepekan lalu, Jumat 17 Juni, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sudah memvonis lima politisi Partai Golkar. Achmad Hafiz Zawawi, Marthin Brian Seran, Paskah Suzetta, Bobby Suhardiman, dan Anthony Zeidra Abidin juga dihukum 16 bulan penjara.

Majelis Hakim menilai, kelima terdakwa itu terbukti menerima suap. Selain itu, Hakim juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp50 juta subsidair 3 bulan penjara.

Majelis mengatakan, seharusnya para terdakwa menduga cek pelawat itu erat kaitannya dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Namun hal tersebut diabaikan oleh para terdakwa.

Dua di antara mereka, Bobby Suhardiman dan Anthony Zeidra Abidin, menerima vonis 16 bulan penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. "Demi kepastian dan masa depan keluarga, saya menerima," kata Bobby Suhardiman.

Hal senada juga diungkapkan oleh kolega Bobby, Anthony Zeidra Abidin. Dia juga menyatakan menerima putusan yang dijatuhkan majelis hakim. "Apabila majelis hakim berpendapat saya menerima uang dari Hamka Yandhu, walau saya anggap itu bantuan, saya akan menerima dengan ikhlas," kata Anthony yang juga pernah dipidana karena menerima suap dana YPPI.

Paskah Suzetta tetap dikenai vonis yang sama dengan keempat koleganya meski tidak mengakui perbuatannya tersebut. Paskah yang pernah menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional itu menyatakan pikir-pikir atas vonis itu.

Minta Grasi

Dari 19 orang politisi DPR periode 1999-2004 yang diseret awal tahun ini ke pengadilan karena dugaan menerima suap dalam pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia, hanya politikus PDIP Agus Condro yang lebih ringan hukumannya, 15 bulan penjara. Agus Condro sendiri, meski mengaku bersalah, tidak berharap divonis 15 bulan penjara.

"Kalau saya pikir-pikir dulu, mungkin kuasa hukum saya akan mempertimbangkan untuk meminta grasi," kata Agus usai divonis Kamis 15 Juni 2011 lalu.

Semula Agus memperkirakan vonis atas dirinya bisa lebih ringan dari yang diputuskan hakim. Pertimbangannya, dia adalah saksi pelapor kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Menurut Agus, pelapor dalam Undang-undang LPSK pasal 10 ayat 1 itu tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata atas laporan yang diberikannya. namun majelis hakim mengambil keputusan lain.

Meski tak sesuai harapan, Agus merasa dirinya memang layak diberi hukuman. Agus kemudian merujuk kasus Mbok Minah, nenek asal Banyumas yang dituduh mengambil Kakao kemudian dihukum penjara selama 3 bulan. "Masa saya selaku pejabat negara menerima hadiah Rp500 juta tidak dihukum itu kan mencederai keadilan," ujarnya.

Agus dinyatakan bersama-sama dengan Max Moein, Rusman Lumbantoruan, dan Williem Max Tutuarima menerima suap berupa cek pelawat. Max Moein dan Rusman divonis 20 bulan penjara, serta William divonis 18 bulan penjara. Empat politisi PDI Perjuangan itu juga mendapat tambahan hukuman berupa membayar denda masing-masing Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan.
(vivanews.com)
Tuesday 21 June 2011

Sama-sama Sakit Jantung, Beda Perlakuan

Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) mengeluarkan kebijakan berbeda terkait status terdakwa yang terserang penyakit jantung. Gubernur Sumut nonaktif Syamsul Arifin belum juga diberi izin berobat ke RS Gleneagles Singapura meski kondisinya sudah gawat. Sementara, Walikota Bekasi nonaktif Mochtar Mohammad malah ditetapkan sebagai tahanan kota.

Menanggapi hal itu, anggota kuasa hukum Syamsul, Abdul Hakim Siagiaan, menjelaskan, memang penahanan di rutan bukan hal yang wajib diberlakukan bagi tersangka ataupun terdakwa.

Dijelaskan, ada tiga jenis penahanan, yakni penahanan di rutan, tahanan rumah, dan tahanan kota. "Jadi, boleh-boleh saja (Mochtar Mohammad, red) menjadi tahanan kota, karena penahanan tak wajib. Tapi harus adil," ujar Abdul Hakim Siagian kepada JPNN di Jakarta, kemarin (21/6).

Yang dimaksud "adil", pemberian penetapan penahanan rumah atau kota harus punya standar baku. "Jangan yang satu diberi, yang satu tidak. Jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah," ujar Abdul Hakim.

Standar pemberian penetapan jenis penahanan harus baku, lantaran sekarang sudah ada pengadilan tipikor di sejumlah daerah, selain yang di Jakarta.

Seperti diketahui, Mochtar Mohammad mendapat penetapan penahanan kota dari pengadilan tipikor Bandung.  Ketua majelis hakim Azharyadi yang memimpin sidang dugaan korupsi terhadap Mochtar itu mengubah status tahananya dari penjara Kebonwaru menjadi tahanan kota.

Menurut Azharyadi, penangguhan penahanan itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan, diantaranya, terdakwa sakit dan harus berobat secara rutin di RS Mitra Keluarga untuk keluhan sakit Jantung.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Ketut Sumadena sangat menyayangkan keputusan hakim atas penangguhan penahanan menjadi tahanan kota.”Baru kali ini, tahanan KPK bisa ditangguhkan penahanan, sehingga kami akan melaporkan semuanya kepada pimpinan kami. Saat ini kami belum bisa memberikan komentar lainya,” katanya singkat.

Penasehat Hukum Mochtar, Sirra Prayuna menyatakan penangguhan penahanan kota ini sangat lumrah terjadi dalam persidangan, karena factor kesehatan.”Sangat lumrah dalam persidangan, dan wajar saja mendapatkan penangguhan penahanan, karena kondisi Mochtar sedang sakit,” paparnya.

Juru Bicara KPK Johan Budi menjelaskan, penetapan penahanan kota itu menjadi kewenangan hakim.  "KPK hanya eksekutor," ujar Johan.

Dijelaskan juga, penahanan kota terdakwa kasus dugaan korupsi penyelewengan APBD Bekasi tahun itu dijamin beberapa pihak salah satunya Sekjen PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo. Istri Mochtar dan sejumlah camat juga menjadi jaminan. "Duit jaminan Rp200 juta," kata Johan.
(JPNN.COM)

Panja Menduga Ada Mafia di MK

Dalam kasus pemalsuan dan penggelapan dokumen surat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu Komisi II DPR justru mengindikasikan adanya mafia di tubuh MK.

Anggota Panja Mafia Pemilu yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengatakan, Panja Mafia Pemilu ini justru bisa berkembang menjadi Panja Mafia Putusan Peradilan di MK. 

“Pasalnya, ternyata cerita dari sisi MK terungkap bahwa kasus ini justru terjadi di dalam lingkungan MK.Ini terlihat dari adanya keterlibatan kembali nama mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi yang sebelumnya bermasalah pada kasus Pilkada Simalungun,Sumatera Utara,”ungkap dia seusai rapat konsultasi dengan MK di Gedung DPR,Jakarta,kemarin. 

Perubahan dugaan Panja Mafia Pemilu yang semula mengarah kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati ini, menyusul pemaparan kronologis kasus ini oleh MK. Menurut dia,temuan ini justru mengarah ke MK,meskipun Ketua MK Mahfud MD sendiri berhasil mengamankan substansinya. 

Bahkan, ada juga keterlibatan anggota keluarga mantan hakim tersebut. Untuk tahap berikutnya,jelas dia,Panja akan melakukan kroscek kepada orang-orang yang sudah disebut dalam rapat konsultasi dengan MK, termasuk Andi Nurpati dan mantan Hakim MK Arsyad Sanusi. 

Rapat konsultasi kali ini sifatnya scanning persoalan dari pelaporan Ketua MK Mahfud MD kepada kepolisian terkait kasus ini. Dia menyatakan, dalam pertanyaan Panja berikutnya, yakni ada atau tidaknya aksi suap-menyuap dalam kasus ini. Dari temuan ini, Ganjar menyindir Ketua MK Mahfud MD yang sempat berjanji akan mundur menjadi Ketua MK jika terbukti ada keterlibatan MK dalam kasus ini.

 Kasus ini sendiri, lanjut dia, berbentuk segitiga.“Ada Dewi Yasin Limpo yang berhubungan dengan MK.Di MK ternyata ada pelakunya,Pak Arsyad dan beberapa orang; dan ini ujungnya ada keputusan di KPU,” papar dia. Anggota Panja lainnya, yang juga Ketua DPP Partai Hanura Akbar Faizal, menegaskan bahwa Hanura akan mengklarifikasi langsung kasus ini kepada Dewi Yasin Limpo yang menjabat sebagai Ketua DPP Partai Hanura Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang). 

Jika Dewi memang terbukti melakukan intervensi perolehan suara dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 lalu,pihaknya tidak akan segan untuk memberikan sanksi kepada yang bersangkutan. “Bisa jadi sampai pemberhentian dia (Dewi) dari partai.Tapi kalau memang ini menjadi hak kami, kami minta suara kami dikembalikan,” tukasnya. 

Sementara itu, dari pemaparan MK tentang kasus ini, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat (PD) Ramadhan Pohan semakin optimistis tidak adanya keterlibatan Andi Nurpati. Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Gaffar dalam keterangannya mengatakan, mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi patut diduga terlibat dalam dugaan penggelapan dan pemalsuan surat MK soal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan I. 

Arsyad disebut-sebut memberi tekanan kepada pegawai MK untuk memasukkan kata “penambahan”di antara kata “jumlah”dan “suara” pada surat yang akan diserahkan pada KPU. Menurutnya, berdasarkan pemeriksaan dalam investigasi internal,Arsyad diketahui sering melakukan hubungan telepon dengan panitera Zaenal Arifin Husein dan juru panggil Mashuri Hasan menanyakan apakah dalam putusan tersebut dicantumkan kata “penambahan” atau tidak.

Arsyad juga beberapa kali menyampaikan pada panitera bahwa Dewi Yasin Limpo meminta bantuannya untuk memasukkan kata “penambahan” pada surat balasan ke KPU, sekaligus menyampaikan permintaan untuk bertemu. Kemudian, di tempat tinggal Arsyad yaitu apartemen pejabat negara di Kemayoran pada 16 Agustus 2009, Hasan menyerahkan salinan file surat tersebut. 

Di tempat tersebut sudah ada Nesyawati, anak Arsyad Sanusi kemudian Dewi Yasin Limpo dan Arsyad sendiri. Hasan kemudian mencetak surat dan menambahkan tanggal 14 Agustus 2009 dan nomor 112/PAN.MK/VII/2009 dengan tulisan tangan. “Surat itu tidak ada tanda tangan panitera MK, ternyata Hasan mempunyai file tanda tangan panitera MK di komputernya,” ujar Janedjri. 

Keesokan harinya, Hasan beserta salah seorang panitera pengganti,Nallom Kurniawan, menemui Ketua MK Mahfud MD. Arahan Ketua MK, surat balasan pada KPU harus berdasarkan amar putusan. Karena itu, surat tersebut tidak memuat kata “penambahan” sebagaimana diminta Arsyad.

Surat tersebut kemudian diantar ke Kantor KPU.Namun karena tidak ada komisioner maupun staf yang ada di sana, surat diantar kepada Andi Nurpati yang saat itu menjadi pembicara pada program talk show Jak TV.“Kemudian saat itu Andi Nurpati berkomentar ‘bukan seperti ini yang di hadapan. 

Kalau tidak mengubah jumlah kursi mengapa dikabulkan?,” ujarnya. Sementara itu,Arsyad Sanusi hingga tadi malam belum bisa dikonfirmasi terkait keterangan MK tersebut.
(seputar-indonesia.com)
 
© Copyright 2010-2011 Kampret All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.