Belakangan, aparat penegak hukum negeri ini seolah dibuat tak berdaya oleh sepak terjang dua orang tersangka dugaan korupsi: Nunun Nurbaeti dan Muhammad Nazaruddin. Belum selesai aparat mencari keberadaan Nunun, publik kembali dikejutkan dengan buronnya Nazaruddin.
Nunun, isteri mantan Wakil Kepala Polri Adang Darajatun, terjerat kasus dugaan suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 yang dimenangkan Miranda Gultom. Sedangkan Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.
Keduanya melarikan diri dari proses hukum yang seharusnya dijalani. Mereka buru-buru meninggalkan Indonesia sebelum sempat dicekal. Keduanya sama-sama memilih Singapura sebagai tujuan pelarian pertama. Nunun bertolak ke Singapura pada 23 Februari 2010 atau sekitar sebulan sebelum dicegah. Sementara Nazaruddin bertolak ke Singapura pada 23 Mei 2011 atau sehari sebelum dilarang ke luar negeri. Saat itu, status hukum keduanya belum tersangka. Hingga kini, jejak keduanya sulit terlacak.
“Kiprah” Nunun dan Nazaruddin bukan cerita baru. Sebelumnya, terdapat sederet nama terduga koruptor lain yang lebih dulu kabur ke luar negeri. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2001 tercatat 42 orang yang diduga terlibat kasus korupsi melarikan diri ke luar negeri.
"Ini merupakan daftar terduga, tersangka, terdakwa, terpidana, dugaan perkara korupsi yang diduga telah dan pernah melarikan diri ke luar negeri dari 2001 hingga saat ini," ujar aktivis ICW Tama S Langkun dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Yang menarik, sekaligus klasik, berdasarkan catatan ICW, sebagian besar pelarian tersebut memilih Singapura sebagai tempat singgah. Jaraknya hanya sejengkal dari Indonesia. Tapi, hukum Indonesia tak mampu mejamah mereka. Negeri Singa itu memang tempat pelarian favorit. Pertanyaannya, mengapa Singapura?
Mengapa Singapura?
Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana berpendapat, ada lima alasan yang menjadikan Singapura sebagai negara pelarian favorit para koruptor Indonesia. Pertama, banyaknya jadwal penerbangan menuju Singapura.
"Dalam satu hari setiap jam bisa ada Garuda, Singapur Airlines, belum lagi maskapai lainnya. Kalau saya dikejar, bisa tinggal langsung naik pesawat, berangkat," katanya.
Kemudahan akses ke Singapura tersebut, lanjut Hikmahanto, belum tentu didapatkan jika mereka memilih pergi ke negara anggota ASEAN lainnya seperti Thailand. "Apalagi sekarang ke Singapura bisa dari Bali dan Bandung," tamba dia.
Kedua, lanjut Hikmahanto, para pelarian tersebut mencontoh pelarian-pelarian sebelumnya yang cenderung memilih Singapura. Citra Singapura yang terkenal "ramah" untuk para pelarian membuat mereka memilih ke sana.
"Para koruptor melihat preseden atau contoh, tidak ada orang yang diminta pemerintah Indonesia dikembalikan oleh Singapura. Seolah pemerintah Singapura memberikan perlindungan, padahal belum tentu," katanya.
"Dia (Singapura) cuma bilang, kalau mau investasi akan dikasih permanent residence (izin tinggal tetap)," ujar Hikmahanto.
Ketiga, lanjutnya, dengan berdiam di Singapura, para pelarian itu masih dapat memonitor perkembangan di Indonesia. Akses komunikasi seperti televisi, BlackBerry, masih menjangkau Singapura. "Memonitor Indonesia dari Singapura itu mudah, bisa melalui TV, teknologi lain seperti BB, gampang. Kalau di Vietnam, Kamboja, tidak demikian," terang dia.
Keempat, katanya, Singapura merupakan lokasi yang mudah dijangkau dari Indonesia sehingga memudahkan pihak lain, seperti pengacara atau keluarga, menemui para pelarian. "Singapura sebagai tempat enak untuk bertemu berbagai pihak dari Indonesia, pengara dan lain-lain," ujarnya.
Dan, yang ke kelima, cita rasa masakan Singapura senada dengan lidah orang Indonesia. "Yang ini tidak terlalu penting, namun di Singapura bisa mendapat makanan yang sama dengan di Indonesia," kata Hikmahanto.
Selain itu, ia menambahkan, sebagai negara anggota ASEAN, Singapura menerapkan bebas visa bagi pendatang Indonesia yang memudahkan para terduga koruptor Indonesia masuk ke sana. Paling tidak, hanya dengan berbekal paspor para pelarian itu dapat menetap di Singapura selama maksimal 30 hari. Jika lebih dari 30 hari, menurut Hikmahanto, pada umumnya mereka meloncat ke negara lain terlebih dulu untuk sementara, kemudian kembali lagi ke Singapura.
"Supaya tidak ilegal (overstay), mereka (para pelarian) akan pergi dulu misalnya ke Johor (Malaysia), keluar beberapa jam, masuk lagi pada hari yang sama," ungkap Hikmahanto.
Jika si terduga korupsi memiliki banyak uang, tidak menutup kemungkinan jika dia membeli izin tinggal tetap di Singapura. Dia juga dapat memperpanjang izin tinggal sementaranya di Singapura dengan alasan berobat.
Nunun, isteri mantan Wakil Kepala Polri Adang Darajatun, terjerat kasus dugaan suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 yang dimenangkan Miranda Gultom. Sedangkan Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.
Keduanya melarikan diri dari proses hukum yang seharusnya dijalani. Mereka buru-buru meninggalkan Indonesia sebelum sempat dicekal. Keduanya sama-sama memilih Singapura sebagai tujuan pelarian pertama. Nunun bertolak ke Singapura pada 23 Februari 2010 atau sekitar sebulan sebelum dicegah. Sementara Nazaruddin bertolak ke Singapura pada 23 Mei 2011 atau sehari sebelum dilarang ke luar negeri. Saat itu, status hukum keduanya belum tersangka. Hingga kini, jejak keduanya sulit terlacak.
“Kiprah” Nunun dan Nazaruddin bukan cerita baru. Sebelumnya, terdapat sederet nama terduga koruptor lain yang lebih dulu kabur ke luar negeri. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2001 tercatat 42 orang yang diduga terlibat kasus korupsi melarikan diri ke luar negeri.
"Ini merupakan daftar terduga, tersangka, terdakwa, terpidana, dugaan perkara korupsi yang diduga telah dan pernah melarikan diri ke luar negeri dari 2001 hingga saat ini," ujar aktivis ICW Tama S Langkun dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Yang menarik, sekaligus klasik, berdasarkan catatan ICW, sebagian besar pelarian tersebut memilih Singapura sebagai tempat singgah. Jaraknya hanya sejengkal dari Indonesia. Tapi, hukum Indonesia tak mampu mejamah mereka. Negeri Singa itu memang tempat pelarian favorit. Pertanyaannya, mengapa Singapura?
Mengapa Singapura?
Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana berpendapat, ada lima alasan yang menjadikan Singapura sebagai negara pelarian favorit para koruptor Indonesia. Pertama, banyaknya jadwal penerbangan menuju Singapura.
"Dalam satu hari setiap jam bisa ada Garuda, Singapur Airlines, belum lagi maskapai lainnya. Kalau saya dikejar, bisa tinggal langsung naik pesawat, berangkat," katanya.
Kemudahan akses ke Singapura tersebut, lanjut Hikmahanto, belum tentu didapatkan jika mereka memilih pergi ke negara anggota ASEAN lainnya seperti Thailand. "Apalagi sekarang ke Singapura bisa dari Bali dan Bandung," tamba dia.
Kedua, lanjut Hikmahanto, para pelarian tersebut mencontoh pelarian-pelarian sebelumnya yang cenderung memilih Singapura. Citra Singapura yang terkenal "ramah" untuk para pelarian membuat mereka memilih ke sana.
"Para koruptor melihat preseden atau contoh, tidak ada orang yang diminta pemerintah Indonesia dikembalikan oleh Singapura. Seolah pemerintah Singapura memberikan perlindungan, padahal belum tentu," katanya.
"Dia (Singapura) cuma bilang, kalau mau investasi akan dikasih permanent residence (izin tinggal tetap)," ujar Hikmahanto.
Ketiga, lanjutnya, dengan berdiam di Singapura, para pelarian itu masih dapat memonitor perkembangan di Indonesia. Akses komunikasi seperti televisi, BlackBerry, masih menjangkau Singapura. "Memonitor Indonesia dari Singapura itu mudah, bisa melalui TV, teknologi lain seperti BB, gampang. Kalau di Vietnam, Kamboja, tidak demikian," terang dia.
Keempat, katanya, Singapura merupakan lokasi yang mudah dijangkau dari Indonesia sehingga memudahkan pihak lain, seperti pengacara atau keluarga, menemui para pelarian. "Singapura sebagai tempat enak untuk bertemu berbagai pihak dari Indonesia, pengara dan lain-lain," ujarnya.
Dan, yang ke kelima, cita rasa masakan Singapura senada dengan lidah orang Indonesia. "Yang ini tidak terlalu penting, namun di Singapura bisa mendapat makanan yang sama dengan di Indonesia," kata Hikmahanto.
Selain itu, ia menambahkan, sebagai negara anggota ASEAN, Singapura menerapkan bebas visa bagi pendatang Indonesia yang memudahkan para terduga koruptor Indonesia masuk ke sana. Paling tidak, hanya dengan berbekal paspor para pelarian itu dapat menetap di Singapura selama maksimal 30 hari. Jika lebih dari 30 hari, menurut Hikmahanto, pada umumnya mereka meloncat ke negara lain terlebih dulu untuk sementara, kemudian kembali lagi ke Singapura.
"Supaya tidak ilegal (overstay), mereka (para pelarian) akan pergi dulu misalnya ke Johor (Malaysia), keluar beberapa jam, masuk lagi pada hari yang sama," ungkap Hikmahanto.
Jika si terduga korupsi memiliki banyak uang, tidak menutup kemungkinan jika dia membeli izin tinggal tetap di Singapura. Dia juga dapat memperpanjang izin tinggal sementaranya di Singapura dengan alasan berobat.
0 komentar:
Post a Comment