Powered by Blogger.
Thursday 30 June 2011

MA akan Kabulkan Kasasi Agusrin?

liansi Masyarakat Berantas Koruptor menuding ada mafia hukum yang terus bekerja untuk meloloskan Agusrin M Najamuddin dari 'jerat' hukum. Saat ini mafia hukum tersebut masih terus bekerja di tingkat kasasi.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Regional Jakarta, Hendrik D Sirait, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (28/6).

Menurut Hendrik, Kasus Dispenda Gate dengan terdakwa Agusrin M Najamuddin saat ini sudah memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun keyakinan Agusrin divonis bebas menguat lagi.

Yang berkembang di Bengkulu saat ini, lanjutnya, Agusrin bakal lolos kembali dari jerat hukum. Bahkan Agusrin juga sudah 'menuntut' kembali ke jabatannya.

'Sandarannya' Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana pasal 244. Di mana 'terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan lain selain MA, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada MA kecuali terhadap putusan bebas'.

Jika hakim di MA menggunakan logika ini, dapat dipastikan kasasi jaksa penuntut umum bakal ditolak. Pasalnya penuntut umum sejak awal sudah mengaburkan tuntutan yang membuat dakwaan menjadi lemah. Begitu pula hakim yang tak menggali bukti- bukti baru.

"Kami menduga jaksa penuntut umum dan hakim terlibat dalam mafia ini. Artinya Agusrin bisa menghirup kebebasan kembali," tegas Hendrik.
(republika.co.id)

Penangkapan KPK di Bandung Hakim Perempuan Diduga Terima Suap Rp200 Juta

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malam ini (30/6) kembali melakukan penangkapan terhadap seorang hakim di kawasan Bandung, Jawa Barat yang diduga menerima suap Rp200 juta.

Selain menangkap tangan seorang hakim perempuan, penyidik KPK juga menangkap seorang laki-laki yang diduga sebagai pihak swasta.

"Kabarnya begitu, tapi saya belum bisa memastikan," kata Kepala Bidang Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha dalam pesan singkat yang diterima mediaindonesia.com, Jumat (1/7).

Namun sayangnya ia belum dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai identitas hakim tersebut dan kronologis penangkapan yang bersangkutan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Media Indonesia, diketahui kalau hakim perempuan tersebut berinisial ID. Ia adalah Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Bandung. ID ditangkap bersama seorang pegawai swasta yang diduga sebagai pemberi suap.

"Hakimnya perempuan," ujar sumber yang enggan disebutkan namanya.

Penangkapan itu sendiri terjadi sekitar pukul 19:30 di kawasan Bandung. Setelah ditangkap mereka langsung dibawa ke Jakarta dan baru tiba di kantor KPK (Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan) sejak pukul 22:45 WIB. Pada penangkapan tersebut penyidik menemukan uang sebesar Rp200 juta yang diduga sebagai uang suap. Hingga kini keduanya masih menjalani pemeriksaan di kantor KPK.
(mediaindonesia.com)
Saturday 25 June 2011

Satgas TKI Tak Akan Efektif seperti Satgas Anti-Mafia Hukum

Politikus Partai Golkar, Bambang Soesatyo menilai, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) tenaga kerja Indonensia (TKI) tidak akan efektif sebagaimana halnya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum serta satgas-satgas lainnya. 
Menurut Bambang, Satgas TKI hanya akan menambah beban keuangan negara. Sementara, kementerian terkait tidak dapat berbuat banyak menangani persoalan TKI.

“Jika Kemenlu, Kemenakertrans, serta BNP2TKI, saja tidak bisa berbuat banyak, kita juga tidak bisa berharap banyak dengan Satgas TKI,” ujar Bambang kepada okezone, Jumat (24/6/2011).

Pembentukan Satgas, lanjut Bambang, masih jauh dari kata sukses. Hal ini tercermin dari Satgas Anti Mafia Hukum yang belum dapat mengungkap kasus hukum secara tuntas.

“Kita sama-sama tahu bahwa bukan kali ini saja SBY membentuk Satgas. Nyatanya, hasil kerja sejumlah Satgas yang dibentuk SBY masih jauh dari harapan. Lihat saja, kinerja Satgas Mafia Hukum. Hingga kini, jangankan menumpas mafia hukum, mengungkap satu kasus mafia hukum secara tuntas saja belum ada yang berhasil. Janganlah terus menerus Satgas dibentuk tanpa hasil yang jelas,” tegasnya.

Seperti diketahui, dalam jumpa pers di Kantor Kepresidenan, Kamis kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Satgas penanganan TKI bermasalah. Satgas ini akan bertugas mengadvokasi para TKI yang mengalami masalah hukum, terutama yang akan menghadapi hukuman mati.
(okezone.com)

Makin Banyak Penjahat Jadi Pejabat

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Riyanto mengatakan, saat ini semakin banyak penjahat jadi pejabat. Hal itu merupakan akibat dari maraknya praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah. Kondisi tersebut berdampak pada semakin sulitnya pemberantasan tindak korupsi di Indonesia.

"Jangan pilih penjahat jadi pejabat. Namun, kini banyak penjahat yang jadi pejabat. Sistem politik kita yang sarat money politic menjadikan pemberantasan korupsi semakin sulit dilakukan," kata Bibit saat memberikan pengarahan kepada 234 lulusan baru Profesi Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) di Graha Sabha Pramana, Sabtu (25/6/2011).

Menurut Bibit, adanya praktik politik uang menyebabkan masyarakat diajari pragmatisme dalam memilih kepala daerah. Padahal, kepala daerah yang terpilih karena politik uang tersebut besar kemungkinan menjadi koruptor karena ingin mengembalikan uang yang dikeluarkannya saat pemilihan.

"Selain itu, kita juga temukan, bahwa semakin banyak juga pejabat yang kaya karena hibah," katanya.

Bibit mengakui, pengalaman selama tiga tahun menjadi wakil pimpinan KPK, korupsi di Indonesia terus terjadi secara sistematik dan meluas ke semua sektor. Akibat yang ditumbulkannya tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga hak sosial ekonomi masyarakat.

"Korupsi merupakan kejahatan luar biasa, sehingga pemberantasannya pun juga harus dilakukan secara luas biasa. Korupsi masih marak dan masif di masyarakat karena korupsi dianggap hal biasa. Mulai dari pengurusan KTP hingga SIM sudah ada praktik korupsi," ujarnya.

Besarnya praktik korupsi tersebut juga ditandai dengan banyaknya jumlah pengaduan masyarakat ke KPK.

"Pengaduan yang disampaikan ke KPK mencapai 48.206 pengaduan. Laporan yang masuk berasal dari hampir setiap strata sosial," tuturnya.

Bibit meyakini, perilaku korupsi di Indonesia merupakan fenomena gunung es di lautan, yang kerap terungkap hanya sebagian kecil dari realitasnya. Menurutnya, peran akuntan akan semakin penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal itu karena akuntan dapat mengaudit berapa nilai kerugian Negara yang ditimbulkan dari praktik-praktik korupsi. Bahkan, akuntan juga mampu melakukan mitigasi dan pencegahan terjadinya korupsi.

"Untuk itu, akuntan harus punya integritas dan kompetensi, jangan sampai dimanfaatkan untuk memanipulasi data keuangan. Karena banyak kasus korupsi yang modusnya dengan penggelembungan dan manipulasi data keuangan," tuturnya.
(kompas.com)

SBY Tak Lagi Didengar Kader Demokrat

Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Nazaruddin membuat perpecahan di Partai Demokrat semakin terlihat jelas. Ironisnya, para kader Demokrat saat ini dinilai sudah berani membangkang kepada Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono.

Pembangkangan ini nampak saat Demokrat belum berhasil membawa pulang Nazaruddin dari Singapura. Padahal, SBY secara tegas meminta agar eks bendahara Demokrat itu dipulangkan dan kasusnya segera diusut secara terang benderang.

“Pembangkan di Demokrat pertanda SBY telah gagal membina kadernya, karena kan SBY Ketua Dewan Pembina Demokrat. Sekarang SBY tak lagi didengar kadernya,” kata pengamat politik Adhie Massardi kepada okezone, Jumat (10/6/2011).

Adhie menambahkan, perpecahan di Demokrat memang sudah terjadi sejak lama. Namun, dengan munculnya kasus Nazaruddin membuat konflik di partai pemenang tersebut semakin jelas terlihat.

“Perpecahan dan pembangkangan ini terjadi karena Demokrat tidak memiliki ideologi dan patronase yang jelas. Rata-rata kader Demokrat bersikap pragmatis. Mereka bergabung hanya untuk mencari perlindungan dan keuntungan,” tandas eks Juru Bicara Presiden KH Abdurrahman Wahid ini.

Sebagaimana diketahui, Presiden SBY kerap mengampanyekan akan memberantas korupsi dan menjadikan hukum sebagai panglima. Ironisnya, seruan SBY tersebut tidak sejalan dengan apa yang dilakukan sejumlah kadernya yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.

Berikut sejumlah kader politisi Demokrat yang tersandung perkara korupsi.

1. RE Siahaan, bekas Wali Kota Pematang Siantar menjadi tersangka dugaan korupsi APBD tahun 2007. RE ditahan KPK sejak 8 Juni kemarin.

2. Djufri, anggota DPR dari Fraksi Demokrat ditahan Kejaksaan Tinggi (Kejati) karena kasus dugaan korupsi pengadaan tanah semasa menjadi Wali Kota Bukittinggi pada 2007.

3. Amrun Daulay, tersangka di KPK dalam kasus korupsi impor sapi dan mesin jahit. Kasus ini terjadi saat anggota Komisi II DPR Fraksi Demokrat itu menjabat Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial di Kementerian Sosial.

4. As'ad Syam, anggota DPR Fraksi Demokrat. Mahkamah Agung dalam putusan kasasi memvonis As'ad empat tahun penjara karena terbukti bersalah dalam perkara korupsi proyek pembangunan jaringan listrik PLTD Sungai Bahar, Muarojambi pada tahun 2004.

5. Jhoni Allen Marbun. Wakil Ketum Partai Demokrat ini terganjal kasus dugaan suap dana stimulus proyek infrastruktur di wilayah timur Indonesia. Jhoni pernah diperiksa KPK sebagai saksi untuk Abdul Hadi Djamal terpidana kasus suap tersebut. Jhoni yang membantah menerima uang Rp1miliar dari pengusaha Hontjo Kurniawan, kini kasusnya masih diselidiki KPK.

6. Agusrin Najamudin, Gubernur nonaktif Bengkulu. Pimpinan daerah Partai Demokrat ini divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas kasus dugaan korupsi dana pajak senilai Rp21 miliar. Belakangan, desakan agar KPK menyelidiki vonis bebas itu menguat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut sejumlah kejanggalan dalam vonis itu pasca tertangkapnya hakim Syarifuddin Umar yang menjadi ketua majelis hakim perkara Agusrin.

7. Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat. Statusnya masih sebagai saksi dalam dua perkara yakni dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional dan suap proyek wisma atlet SEA Games.
(okezone.com)
Thursday 23 June 2011

Surat Palsu: Pengalihan Isu baru dari Isu Suap Nazarudin ke MK

Bekas Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi, menegaskan tak tahu menahu adanya surat palsu terkait penetapan Dewi Yasin Limpo sebagai anggota DPR dari Sulawesi Selatan. Arsyad menuding isu ini digelontorkan untuk mengalihkan kasus dugaan suap Sekjen MK, Djanedjri M Gaffar.

"Ini pengalihan isu dari kasus suap itu," kata Arsyad Sanusi kepada VIVAnews.com, Rabu 22 Juni 2011.

Kasus suap yang dimaksud adalah pemberian Sin$120 ribu yang diterima Djanedjri. Uang itu diterima dari bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

Arsyad pun menanyakan kenapa uang yang diterima Djanedjri itu tidak langsung dikembalikan saat itu juga. "Kenapa uang itu sempat diinapkan dan baru dikembalikan setelah disuruh oleh Ketua MK," ujarnya.

Mengenai tudingan pembuatan surat palsu, Arsyad mengakui, Staf Juru Panggil MK, Mashuri Hasan, datang ke rumahnya pada 16 Agustus 2009. Namun, dia tidak mengetahui kenapa Hasan tiba-tiba datang ke rumahnya saat itu.

Menurut Arsyad, kedatangan Hasan ke rumahnya untuk membuat konsep jawaban atas surat KPU mengenai sengketa Pemilu di Sulawesi Selatan. "Saya bilang, agar dia membuat konsep itu sesuai dengan putusan, jangan ditambah ataupun dikurangi. Karena kalau mengubahnya berarti menjual MK," ujarnya.

Arsyad mengaku tidak mengetahui apa yang dibuat oleh Hasan saat itu dengan menggunakan komputer jinjingnya. "Saya tidak tahu apakah dia membuat surat atau tidak, karena itu ada di laptopnya. Dan dia di rumah saya hanya sekitar dua jam saja," ujarnya.

Jika kemudian, ada tuduhan bahwa saat itu, konsep surat palsu itu dibuat pada saat pertemuan itu, Arsyad mengaku tidak tahu. "Tidak benar itu, saya sendiri tidak mengetahui bentuk surat yang dibilang palsu itu. Saya juga tidak tahu bentuk permintaan KPU seperti apa," ujarnya.

Arsyad menyatakan siap memberikan keterangan mengenai tudingan itu ke Panja Surat Palsu di DPR maupun di polisi. Bahkan Arsyad siap bersumpah tidak terlibat surat palsu itu. "Pak Sekjen dan Pak Ketua (Mahfud MD) telah melakukan pembohongan besar. Saya harap panja memanggil saya, polisi juga. Saya akan jelaskan semuanya," ujarnya. "Setelah saya menjelaskan ke panja dan polisi, saya akan ambil langkah hukum atas tuduhan tersebut."
(vivanews.com)

Sekaligus Tiga Pejabat Sragen jadi Tersangka Korupsi

Mantan Bupati Sragen berinisial UW yang menjabat selama dua periode ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dalam kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan keuangan kas daerah terkait APBD 2003-2010.

"Kami juga menetapkan mantan sekretaris daerah berinisial K dan SW yang menjabat kepala bagian kas daerah Pemkab Sragen sebagai tersangka dalam kasus korupsi ini, namun ketiganya belum dilakukan penahanan," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Widyopramono, di Semarang, Rabu (22/6).

Menurut dia, penetapan ketiga tersangka tersebut setelah melakukan penyelidikan sejak Maret 2011 berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat.

Ia mengatakan kasus korupsi ini bermula ketika tersangka UW membutuhkan dana untuk kepentingan di luar kedinasan, dan akhirnya bersama dengan tersangka K serta SW memindahkan dana dari kas daerah Kabupaten Sragen ke bentuk deposito di perusahaan daerah BPR Djoko Tingkir dan BPR Karangmalang.

"Pemindahan dana secara bertahap di BPR Djoko Tingkir sebanyak 38 kali dengan jumlah keseluruhan Rp29 miliar yang terbagi dalam 38 lembar sertifikat deposito serta telah digunakan sebagai jaminan pengajuan kredit atas nama pemerintah daerah setempat," ujar Kajati didampingi Asisten Pidana Khusus Setia Untung Arimuladi.

Dalam melakukan penyelidikan, tim jaksa penyidik Kejati yang diketuai Nurmulat juga menemukan 108 surat perjanjian kredit dengan total pinjaman sebesar Rp36 miliar.

Pemindahan dana dari kas daerah Kabupaten Sragen juga dilakukan ke BPR Karangmalang secara bertahap mulai 2006 sampai dengan 2010 sebanyak delapan lembar dan juga dijadikan agunan kredit dengan total Rp6 miliar.

"Total pinjaman seluruhnya mencapai Rp42 miliar," katanya.

Menurut Kajati, uang hasil pinjaman dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah seharusnya dimasukkan dan dicatat dalam kas daerah yang dikelola melalui mekanisme APBD, tidak untuk membiayai kegiatan diluar kedinasan.

"Perbuatan ketiga tersangka melanggar beberapa ketentuan, antara lain Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara," ujarnya.

Penyalahgunaan dalam pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sragen tahun anggaran 2003-2010 tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp40 miliar.

"Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," katanya.
(mediaindonesia.com)

Hadiah Bui 17 Bulan untuk Panda

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan vonis 17 bulan penjara kepada Panda Nababan. Majelis menilai politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu terlibat dalam kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Selain Panda, Majelis Hakim juga menghukum tiga politisi PDI Perjuangan lainnya, yakni Engelina Pattiasina, M Iqbal, dan Budiningsih dengan hukuman yang sama. "Menyatakan terdakwa satu, dua, tiga dan terdakwa empat terbukti melakukan tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim, Eka Budi, saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu 22 Juni 2011.

Selain hukuman pidana penjara, Hakim juga menghukum Panda cs dengan membayar denda masing-masing sebesar Rp50 juta, dengan ketentuan jika tak mampu membayar diganti pidana kurungan 3 bulan.

Menurut majelis hakim, hal yang meringankan para terdakwa bersikap sopan, koperatif dalam persidangan, mengabdi pada negara, memiliki masalah kesehatan, memiliki tanggungan, tidak pernah dihukum dan untuk terdakwa 1 Panda masih dibutuhkan pemikiran dan pengalamannya untuk kemajuan hukum di Indonesia. Sementara yang memberatkan terdakwa tidak menerapkan unsur ketidakhati-hatian dalam menjalankan tugas dan merusak citra Dewan Perwakilan Rakyat .

Hukuman ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yakni selama tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan hukuman terhadap Engelina Pattiasina, M Iqbal, dan Budiningsih, juga lebih ringan dibanding tuntutan jaksa 2,5 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 4 bulan penjara.

Panda Banding

"Masya Allah," kata Panda berteriak begitu ketua majelis hakim Eka Budi selesai membacakan vonis di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Rabu 22 Juni 2011.

Usai sidang, Panda menyatakan banding atas vonis 17 bulan karena ikut menerima suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004 lalu. Panda menilai, majelis hakim yang diketuai Eka Budi telah memanipulasi fakta-fakta di persidangan. "Saya sangat sedih. Pak Andi dan Pak Made rupanya main voting, bukan main kebenaran," katanya menyebut dua hakim anggota lainnya.

Panda menuturkan, tak ada fakta di persidangan yang menyebutkan dirinya menerima maupun membagikan cek kepada rekan-rekannya sesama fraksi. "Betul-betul saya dizalimi. Saya hanya bisa mengatakan, masya Allah," ujarnya.

Dia menambahkan, yang paling aneh dalam pembacaan putusan hakim terdapat kata-kata baru yaitu ia disebutkan terlibat soal peredaran. "Itu tadi hakim ketua yang mengatakan. Peredaran apa? Narkoba? Peredaran video bajakan? Putusan hakim tidak berdasarkan fakta," ujar Panda yang malang-melintang beberapa periode di Komisi Hukum DPR itu.

Atas putusan itu, Panda secara tegas akan melakukan banding. "Saya tidak terima. Saya harus banding. Tidak sesuai fakta."

Bukan hanya itu, Panda mengancam melaporkan hakim yang mengadilinya ke Badan Pengawas Mahkamah Agung. "Ini hakim karir, saya kecewa sekali," ujar Panda.

Kekecewaan Panda lantaran majelis hakim tidak mengungkapkan pengakuan seorang saksi, Fadilah, sebagai fakta persidangan dan keputusan majelis hakim seolah berdasarkan voting. "Fakta persidangan dimanipulasi, saya sedih, betul-betul dizalimi," ujarnya.

Menariknya, putusan atas Panda dan tiga kawannya ini mirip dengan putusan atas empat politisi PDI Perjuangan lainnya dalam kasus yang sama pada Rabu pagi. Empat politisi PDI Perjuangan yaitu Ni Luh Mariani, Sutanto Pranoto, Suwarno, dan Matheos Pormes juga sama-sama divonis penjara 1 tahun 5 bulan alias 17 bulan. Selain hukuman penjara, mereka juga dikenakan denda Rp50 juta subsider 3 bulan.

"Terdakwa 1, terdakwa 2, terdakwa 3 terdakwa 4 telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi secara besama," kata Ketua Majelis Hakim, Suwidiya, saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Seperti halnya Panda, hal yang meringankan bagi keempat terdakwa adalah bahwa yang bersangkutan belum pernah dihukum, memiliki tanggungan dan mengabdi cukup lama untuk negara. Sementara yang memberatkan tidak menerapkan unsur ketidak hati-hatian dan merusak citra DPR.

Vonis Hakim jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa, sebelumnya Jaksa menuntut keempatnya dengan pidana penjara selama 2,5 tahun dan denda Rp50 juta. Namun atas putusan itu para terdakwa sepakat untuk pikir-pikir.

Politisi Golkar

Kasus cek pelawat itu juga menyeret para politisi Golkar ke penjara. Sepekan lalu, Jumat 17 Juni, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sudah memvonis lima politisi Partai Golkar. Achmad Hafiz Zawawi, Marthin Brian Seran, Paskah Suzetta, Bobby Suhardiman, dan Anthony Zeidra Abidin juga dihukum 16 bulan penjara.

Majelis Hakim menilai, kelima terdakwa itu terbukti menerima suap. Selain itu, Hakim juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp50 juta subsidair 3 bulan penjara.

Majelis mengatakan, seharusnya para terdakwa menduga cek pelawat itu erat kaitannya dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Namun hal tersebut diabaikan oleh para terdakwa.

Dua di antara mereka, Bobby Suhardiman dan Anthony Zeidra Abidin, menerima vonis 16 bulan penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. "Demi kepastian dan masa depan keluarga, saya menerima," kata Bobby Suhardiman.

Hal senada juga diungkapkan oleh kolega Bobby, Anthony Zeidra Abidin. Dia juga menyatakan menerima putusan yang dijatuhkan majelis hakim. "Apabila majelis hakim berpendapat saya menerima uang dari Hamka Yandhu, walau saya anggap itu bantuan, saya akan menerima dengan ikhlas," kata Anthony yang juga pernah dipidana karena menerima suap dana YPPI.

Paskah Suzetta tetap dikenai vonis yang sama dengan keempat koleganya meski tidak mengakui perbuatannya tersebut. Paskah yang pernah menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional itu menyatakan pikir-pikir atas vonis itu.

Minta Grasi

Dari 19 orang politisi DPR periode 1999-2004 yang diseret awal tahun ini ke pengadilan karena dugaan menerima suap dalam pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia, hanya politikus PDIP Agus Condro yang lebih ringan hukumannya, 15 bulan penjara. Agus Condro sendiri, meski mengaku bersalah, tidak berharap divonis 15 bulan penjara.

"Kalau saya pikir-pikir dulu, mungkin kuasa hukum saya akan mempertimbangkan untuk meminta grasi," kata Agus usai divonis Kamis 15 Juni 2011 lalu.

Semula Agus memperkirakan vonis atas dirinya bisa lebih ringan dari yang diputuskan hakim. Pertimbangannya, dia adalah saksi pelapor kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Menurut Agus, pelapor dalam Undang-undang LPSK pasal 10 ayat 1 itu tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata atas laporan yang diberikannya. namun majelis hakim mengambil keputusan lain.

Meski tak sesuai harapan, Agus merasa dirinya memang layak diberi hukuman. Agus kemudian merujuk kasus Mbok Minah, nenek asal Banyumas yang dituduh mengambil Kakao kemudian dihukum penjara selama 3 bulan. "Masa saya selaku pejabat negara menerima hadiah Rp500 juta tidak dihukum itu kan mencederai keadilan," ujarnya.

Agus dinyatakan bersama-sama dengan Max Moein, Rusman Lumbantoruan, dan Williem Max Tutuarima menerima suap berupa cek pelawat. Max Moein dan Rusman divonis 20 bulan penjara, serta William divonis 18 bulan penjara. Empat politisi PDI Perjuangan itu juga mendapat tambahan hukuman berupa membayar denda masing-masing Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan.
(vivanews.com)
Tuesday 21 June 2011

Sama-sama Sakit Jantung, Beda Perlakuan

Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) mengeluarkan kebijakan berbeda terkait status terdakwa yang terserang penyakit jantung. Gubernur Sumut nonaktif Syamsul Arifin belum juga diberi izin berobat ke RS Gleneagles Singapura meski kondisinya sudah gawat. Sementara, Walikota Bekasi nonaktif Mochtar Mohammad malah ditetapkan sebagai tahanan kota.

Menanggapi hal itu, anggota kuasa hukum Syamsul, Abdul Hakim Siagiaan, menjelaskan, memang penahanan di rutan bukan hal yang wajib diberlakukan bagi tersangka ataupun terdakwa.

Dijelaskan, ada tiga jenis penahanan, yakni penahanan di rutan, tahanan rumah, dan tahanan kota. "Jadi, boleh-boleh saja (Mochtar Mohammad, red) menjadi tahanan kota, karena penahanan tak wajib. Tapi harus adil," ujar Abdul Hakim Siagian kepada JPNN di Jakarta, kemarin (21/6).

Yang dimaksud "adil", pemberian penetapan penahanan rumah atau kota harus punya standar baku. "Jangan yang satu diberi, yang satu tidak. Jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah," ujar Abdul Hakim.

Standar pemberian penetapan jenis penahanan harus baku, lantaran sekarang sudah ada pengadilan tipikor di sejumlah daerah, selain yang di Jakarta.

Seperti diketahui, Mochtar Mohammad mendapat penetapan penahanan kota dari pengadilan tipikor Bandung.  Ketua majelis hakim Azharyadi yang memimpin sidang dugaan korupsi terhadap Mochtar itu mengubah status tahananya dari penjara Kebonwaru menjadi tahanan kota.

Menurut Azharyadi, penangguhan penahanan itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan, diantaranya, terdakwa sakit dan harus berobat secara rutin di RS Mitra Keluarga untuk keluhan sakit Jantung.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Ketut Sumadena sangat menyayangkan keputusan hakim atas penangguhan penahanan menjadi tahanan kota.”Baru kali ini, tahanan KPK bisa ditangguhkan penahanan, sehingga kami akan melaporkan semuanya kepada pimpinan kami. Saat ini kami belum bisa memberikan komentar lainya,” katanya singkat.

Penasehat Hukum Mochtar, Sirra Prayuna menyatakan penangguhan penahanan kota ini sangat lumrah terjadi dalam persidangan, karena factor kesehatan.”Sangat lumrah dalam persidangan, dan wajar saja mendapatkan penangguhan penahanan, karena kondisi Mochtar sedang sakit,” paparnya.

Juru Bicara KPK Johan Budi menjelaskan, penetapan penahanan kota itu menjadi kewenangan hakim.  "KPK hanya eksekutor," ujar Johan.

Dijelaskan juga, penahanan kota terdakwa kasus dugaan korupsi penyelewengan APBD Bekasi tahun itu dijamin beberapa pihak salah satunya Sekjen PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo. Istri Mochtar dan sejumlah camat juga menjadi jaminan. "Duit jaminan Rp200 juta," kata Johan.
(JPNN.COM)

Panja Menduga Ada Mafia di MK

Dalam kasus pemalsuan dan penggelapan dokumen surat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu Komisi II DPR justru mengindikasikan adanya mafia di tubuh MK.

Anggota Panja Mafia Pemilu yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengatakan, Panja Mafia Pemilu ini justru bisa berkembang menjadi Panja Mafia Putusan Peradilan di MK. 

“Pasalnya, ternyata cerita dari sisi MK terungkap bahwa kasus ini justru terjadi di dalam lingkungan MK.Ini terlihat dari adanya keterlibatan kembali nama mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi yang sebelumnya bermasalah pada kasus Pilkada Simalungun,Sumatera Utara,”ungkap dia seusai rapat konsultasi dengan MK di Gedung DPR,Jakarta,kemarin. 

Perubahan dugaan Panja Mafia Pemilu yang semula mengarah kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati ini, menyusul pemaparan kronologis kasus ini oleh MK. Menurut dia,temuan ini justru mengarah ke MK,meskipun Ketua MK Mahfud MD sendiri berhasil mengamankan substansinya. 

Bahkan, ada juga keterlibatan anggota keluarga mantan hakim tersebut. Untuk tahap berikutnya,jelas dia,Panja akan melakukan kroscek kepada orang-orang yang sudah disebut dalam rapat konsultasi dengan MK, termasuk Andi Nurpati dan mantan Hakim MK Arsyad Sanusi. 

Rapat konsultasi kali ini sifatnya scanning persoalan dari pelaporan Ketua MK Mahfud MD kepada kepolisian terkait kasus ini. Dia menyatakan, dalam pertanyaan Panja berikutnya, yakni ada atau tidaknya aksi suap-menyuap dalam kasus ini. Dari temuan ini, Ganjar menyindir Ketua MK Mahfud MD yang sempat berjanji akan mundur menjadi Ketua MK jika terbukti ada keterlibatan MK dalam kasus ini.

 Kasus ini sendiri, lanjut dia, berbentuk segitiga.“Ada Dewi Yasin Limpo yang berhubungan dengan MK.Di MK ternyata ada pelakunya,Pak Arsyad dan beberapa orang; dan ini ujungnya ada keputusan di KPU,” papar dia. Anggota Panja lainnya, yang juga Ketua DPP Partai Hanura Akbar Faizal, menegaskan bahwa Hanura akan mengklarifikasi langsung kasus ini kepada Dewi Yasin Limpo yang menjabat sebagai Ketua DPP Partai Hanura Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang). 

Jika Dewi memang terbukti melakukan intervensi perolehan suara dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 lalu,pihaknya tidak akan segan untuk memberikan sanksi kepada yang bersangkutan. “Bisa jadi sampai pemberhentian dia (Dewi) dari partai.Tapi kalau memang ini menjadi hak kami, kami minta suara kami dikembalikan,” tukasnya. 

Sementara itu, dari pemaparan MK tentang kasus ini, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat (PD) Ramadhan Pohan semakin optimistis tidak adanya keterlibatan Andi Nurpati. Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Gaffar dalam keterangannya mengatakan, mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi patut diduga terlibat dalam dugaan penggelapan dan pemalsuan surat MK soal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan I. 

Arsyad disebut-sebut memberi tekanan kepada pegawai MK untuk memasukkan kata “penambahan”di antara kata “jumlah”dan “suara” pada surat yang akan diserahkan pada KPU. Menurutnya, berdasarkan pemeriksaan dalam investigasi internal,Arsyad diketahui sering melakukan hubungan telepon dengan panitera Zaenal Arifin Husein dan juru panggil Mashuri Hasan menanyakan apakah dalam putusan tersebut dicantumkan kata “penambahan” atau tidak.

Arsyad juga beberapa kali menyampaikan pada panitera bahwa Dewi Yasin Limpo meminta bantuannya untuk memasukkan kata “penambahan” pada surat balasan ke KPU, sekaligus menyampaikan permintaan untuk bertemu. Kemudian, di tempat tinggal Arsyad yaitu apartemen pejabat negara di Kemayoran pada 16 Agustus 2009, Hasan menyerahkan salinan file surat tersebut. 

Di tempat tersebut sudah ada Nesyawati, anak Arsyad Sanusi kemudian Dewi Yasin Limpo dan Arsyad sendiri. Hasan kemudian mencetak surat dan menambahkan tanggal 14 Agustus 2009 dan nomor 112/PAN.MK/VII/2009 dengan tulisan tangan. “Surat itu tidak ada tanda tangan panitera MK, ternyata Hasan mempunyai file tanda tangan panitera MK di komputernya,” ujar Janedjri. 

Keesokan harinya, Hasan beserta salah seorang panitera pengganti,Nallom Kurniawan, menemui Ketua MK Mahfud MD. Arahan Ketua MK, surat balasan pada KPU harus berdasarkan amar putusan. Karena itu, surat tersebut tidak memuat kata “penambahan” sebagaimana diminta Arsyad.

Surat tersebut kemudian diantar ke Kantor KPU.Namun karena tidak ada komisioner maupun staf yang ada di sana, surat diantar kepada Andi Nurpati yang saat itu menjadi pembicara pada program talk show Jak TV.“Kemudian saat itu Andi Nurpati berkomentar ‘bukan seperti ini yang di hadapan. 

Kalau tidak mengubah jumlah kursi mengapa dikabulkan?,” ujarnya. Sementara itu,Arsyad Sanusi hingga tadi malam belum bisa dikonfirmasi terkait keterangan MK tersebut.
(seputar-indonesia.com)

Ribuan Rekening Pejabat Mencurigakan

Polri mengumbar janji. Polri akan menindaklanjuti ribuan rekening mencurigakan milik para pejabat daerah yang terindikasi korupsi, seperti dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Janji itu dikemukakan Kapolri Jenderal Timur Pradopo saat ditanya soal laporan PPATK tersebut. "Semua itu kan tercatat. Semuanya tentu perlu penyelidikan, sehingga perlu pendalaman, ada pelanggaran hukum atau tidak. Saya kira itu," kata Kapolri usai wisuda Akademi Kepolisian (Akpol) di PTIK, Jakarta, Selasa (21/6).

Kapolri membenarkan, PPATK sudah memberi informasi mengenai ribuan rekening pejabat daerah itu. Bahkan, menurut Kapolri, PPATK sudah memberikan semua info rekening mencurigakan ke pihak kepolisian, termasuk rekening pejabat pemerintah pusat.

Namun, meski Kapolri membenarkan dalam laporan PPATK ada rekening mencurigakan milik pejabat pemerintah pusat, Polri masih harus memeriksanya. "Saya kira semua ada, namun itu belum tentu betul. Bagian dari tugas polisi untuk menelusurinya," ujar dia.

Menjawab pertanyaan apakah sudah ada yang masuk dalam penyidikan polisi, Kapolri mengatakan, selama ini pihaknya memproses informasi dari PPATK tersebut. "Saya kira sudah banyak, itu dikembalikan ke PPATK, bukan hanya (data PPATK) yang baru tadi, semua akan diproses," kata Kapolri.

(suarakarya-online.com)

Semua Bukti Kecurangan Pemilu Ada di MK

Mahkamah Konstitusi menyerahkan kepada Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu untuk membongkar semua kecurangan-kecurangan baik di pemilu legislatif bahkan hingga pemilu presiden.

"Itu urusan panja ini kan ada laporan jual beli suara, bahwa suara itu dibeli partai lain melalui PPK,"ujar Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD saat rapat panitia kerja Mafia Pemilu di gedung DPR, Jakarta,Selasa(21/6/2011).

Menurut Mahfud, secara hukum pelaksanaan pemilihan umum adalah sah. Namun secara politik masih banyak terjadi kecurangan di sana sini dan tidak dijadikan kasus hukum.
Hal itulah lanjut Mahfud yang menjadi tugas dari panja mafia pemilu.

"Secara hukum pemilu itu sudah sah, nah secara politik banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang tidak dijadikan kasus hukum," jelas Mahfud.

Lebih jauh Mahfud mengatakan di Mahkamah Konstitusi banyak sudah bukti-bukti kecurangan baik pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Hanya saja semua itu tidak signifikan kemudian untuk merubah hasil pemilu.

"Itu banyak bukti-bukti di MK, tetapi itu tidak signifikan mengubah hasil pemilu,"pungkasnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR, Akbar Faisal mengatakan, munculnya kasus pemalsuan surat Dewi Yasin Limpo merupakan bukti dari buruknya kinerja KPU. Bukan tidak mungkin menurut Akbar kejadian serupa juga ada pada pelaksanaan pemilihan presiden tahun 2009 lalu. 
(tribunnews.com)

Ruyati Dipancung, SBY Semakin Tersudut

Simpati dan keprihatinan terhadap TKI Indonesia yang dihukum pancung di Arab Saudi, Ruyati, terus mengalir. Giliran puluhan aktivis Forum Advokasi Mahasiwa Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur 
menggelar aksi keprihatinan di depan Gedung Grahadi, Selasa(21/6).

Humas FAM Unair Yogie Gavrilla mahasiswa Manajemen Perbankan menjelaskan Ruyati menurut data dari Migrant Care adalah orang ke-28 yang menjalani hukuman pancung di Arab Saudi.

Tragisnya, pemancungan terhadap Ruyati ini tidak berselang lama dengan pidato Presiden SBY di Sidang ILO ke-100 pada 14 Juni lalu tentang sudah berjalannya mekanisme perlindungan pada tenaga kerja Indonesia (TKI).

“Namun angin segar itu sontak lenyap dengan datangnya kabar TKI Ruyati binti Sapubi yang telah dihukum pancung di Saudi Arabia. Peristiwa tersebut jelas memperlihatkan bahwa apa yang dipidatokan oleh Presiden SBY di ILO tersebut tidak sesuai dengan realitas yang ada di lapangan,” kata Yogie Gavrilla

Kasus Ruyati dan Buruh Migran Indonesia lainnya tersebut semakin menggambarkan bagaimana Rezim neoliberal SBY-Boediono hanya memanfaatkan dan mengeksplotasi keberadaan para Buruh Migran ini.
Mereka hanya di ambil Devisanya, tapi nasibnya tidak serius di perhatikan oleh pemerintah. Padahal para Buruh Migran yang bekerja di Luar negeri sebenarnya juga merupakan konsekuensi dari kegagalan Rezim SBY dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi sebagian besar rakyat Indonesia.

Hal itu sendiri tidak terlepas penerapan Agenda-agenda Neoloiberalisme (Penjajahan Gaya baru) oleh Rezim SBY, yang konsekuensinya banyak menimbulkan penggusuran tanah-tanah rakyat, PHK Massal dan Pengangguran.

Forum Advokasi Mahasiswa (FAM) Unair menyatakan sikap pertama, Mengecam Keras sikap “Diam” Pemerintah yang tidak melakukan diplomasi politik secara serius untuk menyelamatkan alm Ruyati dari hukuman Pancung.

Kedua, Rezim Neoliberal SBY-Boediono telah melakukan politik pembiaran terhadap nasib buruh migran, sehingga banyak Buruh Migran Indonesia yang menjadi korban Penyiksaan dan bahkan hingga meninggal.
Ketiga, Neoliberalisme (Penjajahan Gaya Baru) adalah Musuh Bersama mahasiswa dan rakyat pekerja Indonesia, karena telah terbukti hanya mengakibatkan kemelaratan dan kesengsaraan rakyat.
(poskota.co.id)

Polda Sulsel Selidiki Korupsi Libatkan Bupati Mamuju Utara

Bagian Tindak Pidana Korupsi, Direktorat Kriminal Khusus, Polda Sulawesi Selatan saat ini sedang menyelidiki kasus dugaan korupsi yang diduga melibatkan Bupati Mamuju Utara Agus Ambo Jiwa.

Bupati diduga melakukan korupsi dalam proyek pengadaan mobil dinas, alokasi bantuan kesehatan, dan alokasi bantuan kepada korban bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun 2010.

Tim dari Bagian Tipikor telah diterjunkan ke Mamuju untuk melakukan penyelidikan dan mengumpulkan sejumlah bukti.

"Saat ini masih dalam tahap penyelidikan. Laporan adanya dugaan korupsi dilakukan salah satu LSM yang untuk sementara tidak bisa kami sebutkan namanya untuk kepentingan penyelidikan," kata Kabag Tipikor Dit Krimsus Polda Sulsel Kompol Hadaming melalui Kasubag Penerangan Masyarakat Bagian Humas Polda Sulsel AKBP Muh Siswa kepada Tribun, Senin (20/6/2011) di Mapolda Sulsel.

Jika terbukti ada indikasi korupsi, polisi akan memeriksa Agus setelah mendapat izin pemeriksaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
(tribunnews.com)

Faktor yang Menyebabkan Kepala Daerah Korupsi

Pengamat hukum dan politik dari Universitas Nusa Cendana Kupang Nicolaus Pira Bunga mengatakan faktor politik cukup berpengeruh dalam mendorong kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi. "Korupsi itu terjadi karena adanya peluang, dan sebagai penguasa anggaran, kepala daerah tentu tahu celahnya untuk melakukan penyimpangan, dan penyimpangan itu terjadi karena dorongan politik selama proses suksesi kepemimpinan berlangsung," katanya di Kupang, Selasa (21/6).

Mantan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang, itu mengemukakan pandangannya tersebut ketika ditanya soal pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang menyebutkan bahwa 158 kepala daerah di Indonesia (gubernur, bupati dan wali kota) berstatus tersangka akibat terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi.

Pira Bunga yang juga staf pengajar pada Fakultas Hukum Undana Kupang, itu mengatakan kasus korupsi yang menimpa hampir sepertiga dari jumlah kepala daerah di Indonesia itu bukan mencerminkan buruknya faktor moralitas seorang pemimpin. "Seorang gubernur, bupati ataupun wali kota sampai melakukan tindakan demikian karena memiliki kekuasaan yang tidak dikontrol dengan baik oleh parlemen," ujarnya.

Ia menambahkan kekuasaan tanpa adanya kontrol yang bagus dari parlemen atau pun rakyat, selalu membuka ruang kepada penguasa untuk melakukan penyimpangan dengan memanfaatkan dana APBN maupun APBD yang ada. "Sebagai penguasa anggaran, seorang kepala daerah tentu tahu celah-celah untuk melakukan penyimpangan, dan ambisi untuk melakukan penyimpangan tersebut akibat dorongan politik selama suksesi berlangsung," ujarnya.

Menurut dia, untuk menghentikan fenomena buruk tersebut memang agak sulit, karena biaya politik sangat mahal bagi seorang kepala daerah sampai menuju ke kursi kekuasaan. Salah satu langkah untuk mencegah fenomena buruk tersebut, kata Pira Bunga, gubernur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di daerah sebaiknya ditunjuk langsung oleh presiden, tanpa harus melalui proses pilkada.

"Biaya politik dalam pemilu gubernur justru jauh lebih mahal dibanding biaya politik untuk pemilu kepala daerah (bupati atau wali kota), karena ruang lingkup wilayahnya jauh lebih luas. Ini yang sebaiknya tidak perlu dilakukan lagi," ucapnya, menegaskan.

Menurut dia, sistem pemilihan gubernur melalui DPRD memang sedikit pengeluarkan biaya, namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya praktik politik uang dalam proses pemilihan tersebut. Karena itu, kata Pira Bunga, gubernur sebaiknya ditunjuk langsung oleh Presiden, karena lebih berfungsi sebagai koordinator antarwilayah dalam sebuah provinsi, karena otonomi daerah sudah diletakkan pada daerah tingkat II (kabupaten/kota).

Dengan demikian, tambahnya, DPRD di tingkat provinsi juga harus dihapus, karena tidak memiliki fungsi lagi dalam mengontrol jalannya pemerintahan serta pengawasan anggaran.
(republika.co.id)

Oknum BPLS Dilaporkan Memeras Korban Lumpur Lapindo

Lima orang korban lumpur Lapindo melaporkan dugaan praktik mafia hukum yang dilakukan oknum Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di Jakarta, Selasa (21/6). Warga melaporkan oknum BPLS atas percobaan pemerasan, penggelapan dan manipulasi luas tanah serta pembayarannya.

Pelapor adalah warga korban lumpur lapindo asal Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Sebelum ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, warga sudah melaporkan kasus sama ke polisi dan Komnas HAM.

Praktik nakal oknum BPLS yang dilaporkan tersebut adalah percobaan pemerasan. Lima warga korban lumpur Lapindo itu mengaku telah dimintai fee dengan cara dipaksa oleh oknum BPLS berinisial BJR yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah. Namun warga menolak permintaan fee tersebut.

Karena penolakan itu, tanah milik lima warga itu disengketakan oleh tim verifikasi BPLS. Tanah kelima warga itu sebenarnya tanah kering, diverifikasi BPLS sebagai tanah sawah dengan nilai ganti rugi jauh lebih rendah.
(metrotvnews.com)
Monday 20 June 2011

Selamat Datang Partai Baru?

Pemilu legislatif masih tiga tahun lagi.Namun, sesuai Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (Parpol), satu demi satu partai,baik yang telah ikut Pemilu 2009 maupun yang baru, mulai mendaftarkan diri agar bisa ikut Pemilu 2014.

Kita tahu, syarat bagi sebuah parpol untuk bisa dikatakan partai, kecuali di Aceh yang membolehkan berdirinya partai lokal,amatlah berat. Sebuah parpol baru diakui sebagai badan hukum partai apabila memiliki kepengurusan di 33 provinsi seluruh Indonesia, 75% pengurus kabupaten/kota di tiap provinsi, dan 50% kecamatan di tiap kabupaten/kota.

Meski persyaratan untuk menjadi badan hukum partai amat sulit, tidak sedikit partai baru yang mencoba nasib untuk terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Sampai 18 Juni 2011, ada 14 partai lama dan baru yang mendaftar. Di antara partai baru yang sudah mendaftar adalah Partai Nasdem (Nasional Demokrat),Partai Nasional Republik, Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia dan Partai Republik Satu.

Salah satu partai politik baru yang juga akan mendaftar ialah Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), partai para pendukung mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.Partai yang pernah mengikuti pemilu sebelumnya yang sudah mendaftar ialah PDI Perjuangan,Partai Damai Sejahtera, Partai Peduli Rakyat Nasional,Partai Buruh, Partai Pemersatu Bangsa, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Partai-partai baru yang belum pernah mengikuti pemilu legislatif tentu harus bekerja keras agar keberadaannya benar-benar diterima masyarakat. Syukur bila ternyata satu atau tiga partai baru itu dapat mematahkan dominasi partai-partai besar lama seperti Partai Demokrat, PDIP, Partai Golkar,PKS,dan partaipartai menengah bawah seperti PPP,PAN,PKB,Partai Gerindra, dan Partai Hanura.

Jika partai-partai baru itu mampu mengemas kampanye mereka, khususnya dengan memfokuskan diri bahwa sebagian besar partai-partai yang ada saat ini penuh diwarnai dengan korupsi dan ketidakjujuran, mungkin saja partai-partai baru ini dapat dilirik masyarakat.

Dua dari partai-partai baru yang cukup diperbincangkan adalah Partai SRI dan Partai Nasdem. Berdirinya Partai SRI merupakan suatu kemajuan besar karena selama ini sebagian pendukung Sri Mulyani Indrawati sangat antipartai dan lebih menonjolkan diri sebagai kekuatan politik yang tak berpartai.

Aktivitas mereka mengampanyekan agar pemilu presiden/ wakil presiden dapat diikuti oleh kandidat perseorangan adalah contoh dari upaya mereka untuk semakin mendemokratiskan sistem pemilu presiden.Itu tentu bertentangan dengan konstitusi negara yang hanya membolehkan partai atau gabungan partai yang dapat mencalonkan presiden/ wakil presiden.

Jika mereka mendorong amendemen konstitusi, ini juga tak gampang karena kartel politik dan oligarki elite partai yang ada di Senayan (Gedung MPR, DPR dan DPD) akan bersatu padu agar calon perseorangan tetap tak dapat ikut pemilu presiden. Partai Nasdem juga diperbincangkan karena dua hal.

Pertama,masyarakat sudah menduga bahwa ormas Nasdem yang terus mendirikan kepengurusan baru di berbagai wilayah Nusantara, suatu saat pasti akan menjadi parpol. Kedua, pembentukan Partai Nasdem menimbulkan riak gelombang pro-kontra di dalam ormas Nasdem karena ini keluar dari rencana mereka yang hanya akan menjadi ormas.

Selain itu, tidak sedikit aktivis Nasdem juga anggota partai seperti Partai Golkar,PDIP dan lainnya. Kita belum tahu bagaimana kinerja partai-partai baru itu pada Pemilu Legislatif 2014. Jika ternyata mereka mampu mematahkan dominasi oligarki partai-partai politik yang bagaikan kartel politik sudah menguasai perpolitikan di Indonesia, ini dapat mendinamisasi politik Indonesia.
 IKRAR NUSA BHAKTI Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI .(seputar-indonesia.com)
Sunday 19 June 2011

Demokrat di Ujung Tanduk?

Partai yang dibidani Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini sedang dirundung masalah yang sangat pelik. Betapa tidak, partai yang sedang berkuasa tersebut seperti tidak habis-habisnya diterpa masalah. Apakah ini tanda bahwa democrat sedang berada di ujung tanduk kehancuran?

Sebagaimana kita ketahui bersama sederet kadernya terbelit kejahatan yang menjadi musuh bangsa. Yang terbaru, mantan Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin diduga terlibat suap Sesmenpora Rp 3,2 miliar.

Belum lagi kasus dugaan gratifikasi Rp 828 juta terhadap Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK). Selain Nazaruddin, Amrun Daulay terjerat korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit di Depsos. Wakil Ketua Umum Demokrat, Jhonny Allen Marbun pun tak luput suap dana stimulus dermaga dan bandara di Indonesia Timur.

Kemudia banyaknya kepala daerah dari demokrat juga terhegemoni korupsi. Mulai Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip, Wali Kota Bukit Tinggi Djufri, Wakil Bupati Tana Toraja Andrias Palino Popang, Bupati Boven Digul Papua Yusak Yaluwo hingga Bupati Lampung Timur Satono.

Untuk kasus Bupati Lampung, Satono diduga korupsi senilai Rp 119 miliar, angka yang tidak kecil.

Ibaratnya, Janji SBY yang selama ini menggembar-gemborkan tentang pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu dan menjadi salah satu prioritas dari pemerintahannya seolah hanya isapan jempol saja. Kader-kadernya sendiri seperti meludah di depan mukanya dengan banyaknya kasus tersebut.

Isu terbaru mengenai dibentuknya Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu di Komisi II DPR, bak pisau bedah yang nanti bisa mencabik-cabik Partai Demokrat.

Panja Mafia Pemilu sendiri mengusung misi utama menguak tabir di balik kasus pemalsuan surat putusan MK Nomor 112/PAN MK/2009 tertanggal 14 Agustus 2009. Surat palsu menggunakan kop dan nomor sama putusan asli MK tertanggal 17 Agustus 2009.

Misteriusnya surat palsu itu dijadikan dasar rapat pleno KPU, 21 Agustus 2009 yang dipimpin Anggota KPU Andi Nurpati yang sekarang menjadi Ketua Divisi Kominfo DPP Partai Demokrat.

Bisakah partai ini bertahan?

Tunggu analisis berikutnya.

By Fikri

Menukil Aib Pemilu 2009

Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu di Komisi II DPR, bak pisau bedah bagi Partai Demokrat.

Kendati fokus utamanya tak terkait langsung partai penguasa ini, potensinya kian menenggelamkan citra partai yang dibidani Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Seperti diketahui publik, Demokrat dirundung masalah pelik. Sederet kadernya terbelit kejahatan yang menjadi musuh bangsa. Yang teranyar, mantan Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin diduga terlibat suap Sesmenpora Rp 3,2 miliar.

Nazaruddin kian membuat SBY murka, begitu mencuat dugaan gratifikasi Rp 828 juta terhadap Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK). Selain Nazaruddin, Amrun Daulay terjerat korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit di Depsos. Wakil Ketua Umum Demokrat, Jhonny Allen Marbun pun tak luput suap dana stimulus dermaga dan bandara di Indonesia Timur.

Kader Demokrat yang menjabat kepala daerah juga terhegemoni korupsi. Mulai Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip, Wali Kota Bukit Tinggi Djufri, Wakil Bupati Tana Toraja Andrias Palino Popang, Bupati Lampung Timur Satono hingga Bupati Boven Digul Papua Yusak Yaluwo.

Panja Mafia Pemilu sendiri mengusung misi utama menguak tabir di balik kasus pemalsuan surat putusan MK Nomor 112/PAN MK/2009 tertanggal 14 Agustus 2009. Surat palsu menggunakan kop dan nomor sama putusan asli MK tertanggal 17 Agustus 2009.

Isinya, seolah-olah MK menetapkan Caleg Hanura, Dewie Yasin Limpo lolos ke Senayan. Padahal, MK menetapkan Mestariany Habie, Caleg Gerindra dari daerah pemilihan Sulsel.

Misteriusnya surat palsu itu dijadikan dasar rapat pleno KPU, 21 Agustus 2009 yang dipimpin Anggota KPU Andi Nurpati. Pleno memutuskan Dewie sebagai anggota DPR.

Tuhan Maha Kuasa dan Maha Adil. Mestariany tak sengaja menemukan fotokopian putusan asli MK di tempat fotokopi kantor KPU. Akhirnya, KPU meralat putusannya dan mendudukkan Mestariany di Senayan.

Keganjilan ini mendorong Ketua MK Mahfud MD yang dikenal "santrinya" Gus Dur, mengadukan pemalsuan dokumen otentik itu ke Mabes Polri. Andi Nurpati bak buah simalakama baru bagi Demokrat. Anggota KPU yang dipinang secara "dramatik" pasca-Pemilu Legislatif dan Pilpres itu, mendapat "hadiah" sebagai Ketua Divisi Kominfo DPP Partai Demokrat.
Andi Nurpati yang kala itu menjabat pimpinan rapat pleno, pantas digugat tanggungjawab hukum dan integritasnya. Ingatan kita pun melayang, di mana protes-protes Parpol pasca-Pileg maupun Pilpres. Umumnya, Parpol menggugat dugaan kecurangan Pemilu.

Bukan isapan jempol. Sederet indikasi kuat sejatinya lazim ditindaklanjuti penegak hukum. Mulai ketidakberesan daftar pemilih tetap, pencetakan surat suara, money politics, "terbangnya" suara secara misterius, hingga pelenyapan dokumen Pemilu.

(pontianak.tribunnews.com)

Bupati Korupsi Rp 119 Miliar Kembali Diadili

Dua Direktur Bank Perkreditan Rakyat Tripanca Setiadana dihadrikan sebagai saksi dalam sidang korupsi senilai Rp 119 miliar dengan terdakwa mantan Bupati Lampung Timur, Satono, Kamis (16/6) di PN kelas IA Tanjungakarang.

Kedua saksi Direktur Utama Poedijono dan Direktur Operasional RE Sudarman, dalam kesaksiannya mengatakan tidak mengetahui pertemuan antara Komisaris BPR Tripanca Sugiarto Wiharja dan Bupati Lampung Timur.

RE Soedarman mengatakan, dana APBD tersebut disimpan dalam bentuk tabungan atas nama Pemkab Lampung Timur pada 2005.

Menurut dia, UU perbankan memperbolehkan penyimpanan dana APBD dalam bentuk tabungan dan deposito, sedangkan untuk asuransi dan giro tidak diperbolehkan.

Dia juga menjelaskan selama penyimpanan dana tersebut, Pemkab Lampung Timur memperoleh keuntungan yaitu penerimaan bunga berjalan sebesar 8,5 persen
(poskota.co.id)

PD Enggan Nonaktifkan Andi Nurpati

Partai Demokrat diminta untuk menonaktifkan Andi Nurpati dari kepengurusan partai terkait dugaan pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Permintaan itu ditolak mentah-mentah.

"Ibu Andi Nurpati dalam hal tersebut (dugaan pemalsuan surat MK-red) tidak ada hubungannya dengan Partai Demokrat. Itu persoalan antara Partai Hanura dengan Gerindra," ujar Ketua Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum DPP PD, Didi Irawadi Syamsudin kepada detikcom, Sabtu (18/6/2011) malam.

Menurut Didi, Partai Demokrat telah menyerahkan permasalah tersebut kepada proses hukum dan kini masih terus berjalan. Panja Mafia Pemilu yang dibentuk DPR untuk mengungkap kasus ini Didi minta untuk tidak hanya fokus pada Andi Nurpati, melainkan untuk perbaikan penyelenggaraan Pemilu ke depan.

"Kalau pun Panja dibentuk itu untuk memperbaiki seluruh sistem penyelenggaraan Pemilu. Bukan untuk tujuan politis. Jangan lupa DPR mempunyai tugas pengawasan, legislasi, anggaran dan lain sebagainya. Jangan sampai energi terlalu dicurahkan untuk masalah ini," kata anggota Komisi III ini.

Didi membantah Partai Demokrat memperlakukan pengurusnya yakni Andi Nurpati dan M Nazaruddin secara berbeda. Nazaruddin sebelumnya dipecat dari jabatannya sebagai Bendahara Umum partai saat diduga terlibat kasus suap di Kemenpora. Saat dipecat, KPK bahkan belum menetapkan status Nazaruddin sebagai saksi.

Sementara itu, Andi Nurpati kini menjabat Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP PD. Andi sudah dilaporkan ke polisi terkait dugaan pemalsuan surat MK. Namun, Partai Demokrat tak berbuat apapun.

"Pak Nazaruddin kan karena tindakan dia diduga kuat ada beberapa hal melanggar kode etik Partai Demokrat, terkait dengan urusan Demokrat. Kalau Bu Andi ini tak ada kaitan dengan Partai Demokrat, tapi dikaitkan dengan Hanura dan Gerindra," kata Didi.

Sebelumnya, pengamat hukum Oce Madril meminta Partai Demokrat untuk menonaktifkan Andi Nurpati. Hal ini perlu dilakukan menyusul dugaan keterlibatannya dalam pemalsuan dokumen MK terkait pemilu legislatif 2009.

"Kita berharap Partai Demokrat me-Nazaruddin-kan Andi Nurpati. Kita harap begitu jadi menonaktifkan Andi Nurpati dari ketua divisi komunikasi publik. Kemudian, mendorong Andi menyelesaikan kasus di kepolisian," kata Oce, usai berbicara dalam acara diskusi Polemik Trijaya bertajuk "Tragedi Siami dan Negeri Kleptokrasi" di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (18/6/2011).

Andi Nurpati diduga memalsukan surat MK terkait penetapan kursi anggota DPR dari Dapil I Sulawesi Selatan. Saat itu, ia masih menjabat sebagai komisioner KPU. Ia telah dilaporkan Ketua MK, Mahfud MD ke kepolisian. Dalam berbagai kesempatan Andi Nurpati membantah dugaan tersebut. Hingga kini polisi belum menetapkan seorangpun sebagai tersangka dalam kasus ini.

Sekedar mengingatkan, pada 30 Juni 2010 lalu, Andi Nurpati dipecat dari komisioner KPU setelah divonis melanggar kode etik. Saat itu, ia memilih bergabung dengan Partai Demokrat meski saat itu masih menjabat sebagai komisioner lembaga penyelenggara Pemilu, KPU.
(detiknews.com)

Pemuda dan Mahasiswa Kulonprogo Tolak Politik Uang

Puluhan pemuda dan mahasiswa Kulonprogo menggelar aksi damai menolak praktik politik uang dalam Pilkada, Jumat (17/6). Dalam aksi itu mereka sedianya mengundang empat pasangan calon bupati wakil bupati untuk melakukan kontrak politik, namun tidak satupun pasangan calon yang datang.

Aksi yang digelar di simpang lima Karangnongko Wates itu diawali dengan long march sejauh sekitar 1,5 km. Massa berkumpul di depan Gedung DPRD Kulonprogo yang kemudian berjalan melewati Pasar Wates hingga simpang lima Karangnongko.

Mereka berorasi dan membentangkan poster-poster berisi kecaman terhadap praktik politik uang. Selain itu, massa yang menamakan diri sebagai Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Kulonprogo itu juga menggelar aksi teatrikal yang menggambarkan bagaimana merejalelanya praktik politik uang.

Koordinator aksi, Agung Galih Widodo mengatakan, aksi itu digelar untuk mensikapi dinamika politik di Kulonprogo menjelang pelaksanaan Pilkada. Mereka menilai telah terjadi politik busuk dengan adanya praktik money politic atau politik uang serta netralitas PNS dan aparat pemerintahan yang patut dipertanyakan.

“Melalui aksi ini kami mengajak masyarakat untuk menolak adanya money politic baik dalam bentuk serangan fajar, suap, ataupun istilah lain semacamnya,” kata Agung di sela aksi.

Terkait tidak datangnya satu pun pasangan calon untuk melakukan kontrak politik, pihaknya mengaku sangat kecewa. Menurutnya, hal itu menunjukkan dari keempat pasangan calon peserta Pilkada tidak ada satu pun yang mempunyai komitmen terhadap rakyat.

Agung mengatakan, kontrak politik atau Mandat Kulonprogo yang berisi enam poin itu sebenarnya bertujuan mengawal kinerja bupati dan wakil bupati terpilih. Sehingga harapannya tidak ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama masa kepemimpinan mereka.

Enam poin dalam Mandat Kulonprogo itu diantaranya menjalankan program yang pro rakyat, mewujudkan pendidikan yang bermutu dan terjangkau, mengedepankan ekonomi kerakyatan, transparansi program dan anggaran terhadap rakyat, serta melaksanakan program khusus untuk membina pemuda.

“Selain itu bupati dan wakil bupati terpilih juga harus bersedia mundur jika tidak dapat memenuhi poin-poin tersebut maupun bila melanggar hukum yang berlaku,” tandasnya.
(suaramerdeka.com)

Ketua MA Marah

Rencana pemanggilan hakim kasus Antasari Azhar dan kasus Abu Bakar Ba'syir oleh Komisi Yudisial (KY) ditanggapi negatif oleh Mahkamah Agung (MA). MA mempersilakan KY memeriksa semua hakim dengan risiko sistem peradilan menjadi kacau.

"Kalau mau dilanjutkan, silakan periksa lagi. Biar sekaligus sistem peradilan menjadi kacau. Silakan saja," kata Ketua MA Harifin A Tumpa usai salat Jumat di masjid MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (17/6/2011).

Menurut Tumpa, hingga hari ini belum ada hukum acara pemeriksaan terkait pemanggilan hakim oleh KY. Menurutnya, KY tidak bisa memanggil jika menyangkut materi putusan hakim.

"Kalau semua orang bisa mempersoalkan suatu proses, tidak usah ada peradilan. Kalau kode etik seperti ada hakim yang menerima suap kayak Syarifuddin yang ketangkap, silakan saja," terang Tumpa.

Terkait pengesampingan fakta yang dihadirkan di pengadilan oleh hakim, Tumpa menilai hal itu belum ada hukum acaranya. Dalam kode etik hakim, hakim dilarang mengesampingkan fakta di persidangam.

"Itu tidak ada hukum acaranya. Jadi belum ada hukum acaranya. Belum ada juklaknya. Seperti kapan pelanggaran bisa dikenakan sanksi, bagaimana cara pemeriksaan. Kita kan bicara norma, tidak bisa seenak perutnya saja," sambungnya.

Oleh karena itu, terkait panggilan hakim kasus Antasari Azhar oleh KY, MA belum bersikap. "Kita belum terima suratnya. Saya baru tahu dari koran. Tadi pagi saya ketemu dengan Ketua PN Jakarta Selatan pun dia tidak bilang apa-apa tentang itu. Jadi kami belum bisa berkomentar apakah akan datang atau tidak," ucap Tumpa.

KY menjadwalkan pemeriksaan terhadap majelis hakim yang menangani perkara hukum Antasari Azhar pada 21 dan 22 Juni mendatang. Pemanggilan dilakukan karena KY menemukan indikasi pelanggaran profesionalitas hakim yang mengabaikan bukti-bukti penting dalam sidang Antasari yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen. Pelanggaran itu awalnya diadukan oleh tim pengacara Antasari.
(detik.com)

PD: Panja Mafia Pemilu Akan Senasib Century

Partai Demokrat menilai pembentukan Panitia Kerja Mafia Pemilu hanya akan membuang energi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Demokrat berpendapat kasus itu sebaiknya diselesaikan melalui proses hukum.

"Penyelesaian kasus itu harusnya di ranah hukum saja, karena hanya soal pemalsuan," kata anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Achmad Mubarok kepada VIVAnews.com, Sabtu 18 Juni 2011.

Menurut dia, pembentukan panja itu hanya akan menyibukkan anggota DPR saja. Padahal, kata dia, masih banyak pekerjaan yang menunggu mereka. Kerja Panja, tak akan mendatangkan hasil seperti yang diharapkan. "Nasibnya nanti akan sama seperti kasus Century. Mana ada penyelesaiannya, tidak akan ada penyelesaian," kata Mubarok.

Bahkan, kata dia, Panja Mafia Pemilu ini akan menjadi bola liar. Hasilnya, justru akan mengganggu kestabilan politik. "Kasus hukumnya akan terpolitisasi," kata dia.
Dia menambahkan, dalam prakteknya, tak ada satu pun pemilu yang diselenggarakan oleh negara-negara di dunia yang bersih. "Mana ada di dunia ini pemilu yang bersih. Pasti ada kotorannya," kata Mubarok.

"Ngapain DPR sibuk-sibuk ngurusi yang demikian," lanjut dia.

Panja Mafia Pemilu ini awalnya dibentuk atas dugaan adanya surat palsu putusan Mahkamah Konstitusi ke Komisi Pemilihan Umum. Nama pengurus Demokrat, Andi Nurpati yang sebelumnya menjabat sebagai anggota KPU disebut-sebut terlibat.

Bahkan, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD telah melaporkan Nurpati ke Mabes Polri. Sementara itu, Andi Nurpati sendiri telah menyatakan kesiapannya menghadapi panja ini.
(vivanews.com)

Angie Bantah Tudingan Nazaruddin Soal Suap Kemenpora

Muhamad Nazaruddin menuding Angelina Sondakh Cs sebagai pemain anggaran dalam kasus suap Wisma Atlet. Angie membantah tudingan Nazaruddin. Dia pun menyerahkan penyelesaian kasus ini pada KPK.

"Biarkan KPK bekerja secara profesional dan saya menghargai proses hukum yang berjalan," ujar Angie kepada detikcom, Sabtu (18/6/2011).

Angie menambahkan Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah sudah memberikan penjelasan yang lengkap. Dirinya sama sekali tidak terlibat dalam kasus suap di Kemenpora.

"Tudingan ke saya itu tidak benar adanya," ungkap anggota Komisi X ini.

Sebelumnya mantan Bendahara Umum PD Muhammad Nazaruddin melempar bola panas dari persembunyiannya di Singapura. Nazaruddin menyebut tiga nama yang menurutnya memainkan uang suap wisma atlet Sea Games Palembang.

Mereka adalah Angelina Sondakh, Wayan Koster, dan Mirwan Amir. Ketiganya telah membantah tudingan Nazaruddin.
(detik.com)
Tuesday 7 June 2011

MA Tantang Buktikan Mafia Peradilan

Penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin, atas dugaan menerima suap dalam kasus pailit PT SCI, kembali memunculkan dugaan masih adanya praktik mafia di lembaga peradilan. Sinyalemen dan dugaan itu disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). 

Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa mempersilakan pihak mana pun yang melayangkan tudingan adanya mafia peradilan di lembaga yang dipimpinnya untuk membuktikan. Hal itu disampaikannya di Gedung MA, Jakarta, Senin (6/6/2011).

"Orang bisa berbicara apa saja kepada institusi yang ada oknumnya terkena masalah, biasanya diobok-obok, diinjak-injak. Tetapi, orang jangan hanya bicara, silakan buktikan. MA terbuka untuk itu. Kalau ada yang mengatakan itu (mafia peradilan) silakan buktikan,  jangan hanya ngomong. Ngomong kan bisa dari dengkulnya saja, tidak berdasarkan fakta, tidak berdasarkan otak,"ujar Harifin.

Merujuk pada kasus dugaan suap yang melibatkan Syarifuddin, menurut Harifin, sejak awal perekrutan hakim, MA telah melakukan ujian yang ketat. Hal ini dilakukan agar hakim bisa mempertahankan independensi dan integritasnya. Namun, jika ada hakim yang berbelok arah, ia tak sepakat jika sepenuhnya dilimpahkan sebagai kesalahan institusi. Akan tetapi, ada juga pengaruh pihak luar, seperti pihak yang beperkara.

"Kita harapkan calon-calon hakim yang diterima memenuhi persyaratan bisa memiliki integritas. Tapi ternyata tidak semata itu saja, karena ada pengaruh dari lingkungan. Pengaruh dari pihak-pihak yang berperkara. Jadi itu bukan inisiatif hakim semata. Ada timbal balik dari orang yang berperkara yang ingin perkaranya itu menang, dengan menawarkan suap kepada hakim," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Harifin, seharusnya pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan tidak memberikan pengaruhnya kepada hakim. "Orang-orang berperkara tidak perlu memberikan suap. Cukup perkuat argumen hukum dan bukti-buktinya. Bukan dengan pendekatan terhadap hakim dan memberikan suap. Itu salah besar," tukasnya.

Harifin juga meminta, siapa pun yang mengetahui ataupun menyatakan terjadi penyimpangan dalam tubuh MA maupun di pengadilan, segera membuktikan agar tidak menimbulkan dugaan-dugaan tanpa fakta yang mendasar.

Dalam keterangannya kemarin, ICW menyebutkan ada beberapa modus yang dilakukan untuk mengatur perkara hingga dimenangi para "klien" dalam mafia peradilan ini. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, mengungkapkan, pola mafia peradilan di Mahkamah Agung terjadi mulai dari tahap mendaftarkan perkara hingga proses pemeriksaan.

"Dalam tahap mendaftarkan perkara, cara yang dilakukan adalah meminta dana tambahan tanpa kuitansi kepada pihak yang mengajukan kasasi," ujar Febri, Minggu (5/6/2011) di kantor ICW, Jakarta.

Dalam meminta dana tambahan itu, oknum di Mahkamah Agung (MA) menghubungi atau dihubungi oleh pengacara atau pihak terkait untuk mengatur perkara. "Dalam kasus besar, pihak yang beperkara menghubungi sekretaris jenderal (sekjen) atau wakil sekretaris jenderal (wasekjen) untuk mengatur perkara dan mendistribusikan suap kepada hakim agung," kata Febri.
(kompas.com)

Mafia Anggaran Menelikung di APBD Perubahan

Komite Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai persoalan calo anggaran memang sulit dikuak, dirinya menilai calo anggaran dapat diamati saat perancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan.

Yang perlu diperhatikan dan sering luput itu, yakni cermati dengan amat teliti untuk setiap anggaran APBD atau APBD Perubahan.

"Banyak dana-dana yang tidak masuk dalam APBD Perubahan tapi direalisasi. Salah satunya yang pernah diributkan dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID)," kata Direktur Eksekutif KPPOD ketika ditemui, Selasa, (7/6).

Karena itulah, Agung mewanti-wanti agar pengawasan terhadap APBD dan APBD Perubahan itulah yang menjadi ruang bagi para mafia anggaran bergerak.

"Inikan masuknya tiba-tiba ada direalisasi. Diperencanaan awal tidak ada, di APBD P tidak ada juga tapi direalisasi anggaran muncul."

Agung menerangkan, proses penyetoran ke calo anggaran terjadi karena ulah para aktornya, ia menjelaskan sejauh ini disisi aturan sudah spesifik menjelaskan mekanisme anggaran.

Di sistem perimbangan keuangan kita selain DAU (dana alokasi umum) kan ada dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Itu yang merupakan dana dari pempus yang bisa diberikan ke daerah dan jadi soal ketika beberapa kriterianya mungkin tidak spesifik.

"Akan tetapi di sisi peraturan sudah spesifik. Ini lebih dikarenakan ke para aktornya," ujar Agung.

Seperti diketahui, seorang anggota DPR mengakui adanya calo anggaran. Proses percaloan itu terjadi hampir di semua anggota Banggar DPR yang mengutip 7%-15%, dari besaran anggaran yang dialokasikan dari perubahan DPID dalam APBN 2011.

Lalu bagaimana agar praktek percaloan DPID dapat dihindari, Agung menjelaskan pemerintah daerah harus melakukan tertib administrasi.

Tertib administrasi dapat dimulai dengan siklus penganggaran yang harus sudah benar-benar fixed dan tepat waktu.

"Ini untuk menghindari tarik menarik eksekutif dengan legislatif. Kemudian, dari sisi disiplin penganggaran itu sendiri, yang harusnya dengan tender ya tender," tambahnya.

Karena itu, Agung berharap ada sikap dan tindakan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengungkap praktik percaloan anggaran seperti ini.

"BPK harus highlight ini, BPK harus berani independen tidak di bawah tekanan-tekanan politik, karena ini persoalan politis sebenarnya," tutupnya.
(mediaindonesia.com)

DUGAAN SUAP Syarifuddin Berkilah

Hakim Syarifuddin Umar, tersangka kasus dugaan suap pada perkara kepailitan PT Sky Camping Indonesia (SCI), membantah telah memutus bebas 39 perkara korupsi karena menerima suap. Menurut hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) itu, setiap menjatuhkan vonis terhadap terdakwa dari perkara yang ditanganinya, dia selalu berdasarkan bukti-bukti yang ada.

    "Saya dituduh selalu menerima suap dari 39 perkara yang saya tangani dan diputus bebas murni. Padahal, ada satu yang saya hukum," kata Syarifuddin usai diperiksa penyidik KPK kemarin.
 
Perkara tersebut adalah perkara tindak pidana korupsi APBD Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, pada tahun 2004 dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 1,5 miliar. Kasus itu terpisah menjadi dua berkas perkara. Satu berkas perkara berisi 28 terdakwa yang merupakan mantan anggota DPRD Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, periode 1999-2004 dan satu berkas perkara lainnya dengan terdakwa dua mantan pimpinan DPRD Kabupaten Luwu periode yang sama.

Karena itu, Syarifuddin menuding tuduhan menerima suap dari para terdakwa perkara tindak pidana korupsi yang dibebaskannya tidak didasarkan pada fakta. Dia merasa kasusnya ingin dilebarkan pihak yang tidak bertanggung jawab.

    "Sudah minta izin sama KPK. Saya mau bicara untuk mengungkap fakta yang sebenarnya. Kok suap (perkara PT SCI) yang dituduhkan makin melebar, kok lari pada pembebasan Agusrin?" katanya.

Sementara itu, kurator PT Sky Camping Indonesia (SCI), Puguh Wirawan, menyampaikan permintaan maaf kepada hakim pengawas kepailitan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Syarifudin Umar. Hal itu diungkapkannya usai diperiksa penyidik KPK.

Puguh juga menyesal telah menyeret Syarifuddin dalam kasus tersebut. Baik Syarifuddin maupun Puguh telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap penyelesaian pailit PT SCI.

Menurut kuasa hukum Puguh, Sheila Salomo, kliennya ditanya seputar hal normatif pada pemeriksaan kemarin. Misalnya, tentang perjalanan kariernya sebagai kurator di PT SCI.
 
Menanggapi kasus Syarifuddin, Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi pada Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki menyatakan, makin banyak hakim bermasalah di Indonesia ini. Hal itu membuat dunia peradilan di Indonesia nyaris tidak punya harapan dan kehilangan optimisme untuk hidup di negara hukum.

    "Dunia peradilan kita boleh dikatakan nyaris tidak punya harapan. Rasanya nyaris kehilangan optimisme untuk hidup di negara hukum ini. Institusi pengawas yang lebih bertanggung jawab untuk membereskan kehancuran moralitas, integritas dunia peradilan ini adalah Mahkamah Agung," ujar Suparman.

Terkait laporan yang disampaikan Lily Wahid dan Gus Choi (panggilan akrab Effendi Choiri) ke KY, Suparman berjanji segera menindaklanjutinya. KY, kata dia, akan menelusuri apakah ada indikasi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim Syarifuddin dalam memutus perkara kedua kader PKB tersebut.
(suarakarya-online.com)

PD sengaja sembunyikan Nazarudin

Partai Demokrat (PD) terkesan menutupin dan sengaja menyembunyikan keberadaan mantan Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat (Bendum DPP PD), Muhammad Nazaruddin. Ini bisa dilihat dari pengakuan sejumlah petinggi PD yang menyatakan, bahwa Nazaruddin saat ini benar dalam keadaan sakit dan sedang berobat rutin di Rumah Sakit (RS) di Singapura.

“Kemungkinan besar kasus ini, memang sengaja atau memang sudah ada skenario yang dilakukan oleh PD. Untuk sengaja menutupi dan melindungi Nazarudin dari mata hukum. Sebab, kejelasan mantan Bendum Demokrat itu sakit apa, surat keterangan dari medis chekup dia sakit apa, dan dimana tempat RS tempat dia dirawat, tidak jelas. Berarti ini memang sengaja ditutupin dan disembunyikan oleh PD keberadaannya ,”tegas Analis Politik, Syamsuddin Haris, seperti dilansir Waspada Online dari MetroTV, malam ini.

Makanya sebutnya, bisa saja ini memang disengaja atau sudah diatur oleh PD dengan mengatakan eks Bendum itu sakit disana. Agar Nazarudin tidak kembali ke Indonesia dan dia tidak akan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi pembuatan Wisma Atlit Sea Games di Palembang.

"Kalau pengamatan saya, ini memang sudah di setting oleh sejumlah petinggi Partai, supaya Nazaruddin tidak secepatnya balik. Agar semua kasus korupsi yang terkuak itu tidak mengembang dibuat Nazaruddin," ungkapnya.

”Bisa saja dia kembali ke Indonesia, namun itu membuat sejumlah petinggi Demokrat semakin cemas dan ketakutan jika Nazaruddin menyanyi," tandasnya.
(waspada.co.id)
Sunday 5 June 2011

Inilah Pola Mafia Peradilan (1)

Penangkapan terhadap hakim Pengadilan Negeri  Jakarta Pusat Syarifuddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi  ditengarai merupakan bagian dari mafia peradilan, yang terjadi di negeri ini.

Di dalam riset Indonesia Corruption Watch (ICW) ditemukan bahwa pola mafia peradilan terjadi  dari tingkat pertama, banding, hingga tingkat Mahkamah Agung (MA).

Vonis Bebas Gubernur Bengkulu Bermasalah?

Vonis bebas yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap perkara korupsi dengan terdakwa Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin dinilai janggal. Indonesia Corruption Watch (ICW). "Kita mencurigai adanya praktik mafia hukum dalam kasus Agusrin Najamudin," kata peneliti ICW Divisi Hukum dan Monitoring Pengadilan, Donal Fariz di Jakarta, Minggu (5/6/2011).

ICW memaparkan sejumlah kejanggalan di antaranya;

1. Putusan terdahulu atas terdakwa Kadis Pemprov Bengkulu, Chairudin di Pengadilan Negeri Bengkulu menyebut baik Charudin dan Agusrin diyakini melawan hukum dan merugikan keuangan negara.

"Nunun" dan "Nazaruddin" Liburan di Solo

Setelah sekian lama dikabarkan berada berada di luar negeri, sosok Nunun Nurbaeti dan Muhammad Nazarudin terlihat sedang menikmati libur panjang akhir pekan di Solo, Jawa Tengah. Keduanya tampak naik becak bersama di jalan utama Kota Solo saat hari bebas kendaraan bermotor. 

Bahkan keduanya juga melambaikan tangan dengan ramah kepada warga tapa rasa takut ditangkap aparat penegak hukum.

Tapi jangan salah, aksi ini tak lain hanya bentuk sindiran warga Solo atas ketidakjelasan aparat penegak hukum dalam menangani kasus suap yang diduga melibatkan Nunun dan Nazaruddin. "Nunun" dan "Nazaruddin" yang terlihat di Solo tak lain warga yang mengenakan topeng mirip kedua sosok yang tengah dicari KPK itu. Tindakan aparat menangani berbagai kasus besar di dalam negeri dinilai hanya dagelan dan penuh sandiwara.
(liputan6.com)
 
© Copyright 2010-2011 Kampret All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.