Powered by Blogger.

Mafia Hukum di MA, dari Mengatur Perkara sampai Nyogok Hakim Agung

Sunday, 5 June 2011

Indonesia Corruption Watch (ICW) mensinyalir, praktik mafia peradilan juga masih tumbuh subur di lingkungan Mahkamah Agung (MA). Praktik itu bisa dimulai oleh pihak yang berperkara maupun orang dalam MA sendiri.

Menurut Koordinator Divisi Monitoring Hukum ICW, Febri Diansyah, temuan ini berdasarkan penelitian sistematis yang dilakukan pada tahun 2002. Penelitian tersebut dimutakhirkan oleh Satgas Anti Mafia Hukum dan juga Pusat Kajian Anti Korupsi UGM pada tahun 2010.
"Ada tiga pola mafia peradilan di MA, mulai dari tahap pendaftaran perkara, proses penanganan perkara, sampai juga pada proses pemeriksaan," kata Febri dalam jumpa pers di Kantor ICW, Jl Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (5/6/2011).

Febri menjelaskan, pada tahap pendaftaran perkara, pegawai MA biasanya meminta dana tambahan tanpa kuitansi kepada pihak yang mengajukan kasasi. Pihak MA juga seringkali menghubungi atau dihubungi oleh pengacara atau pihak terkait untuk mengatur perkara.

Di dalam kasus besar, lanjut Febri, pihak yang berperkara lazim menghubungi Sekretaris Jenderal MA atau Wakil Sekretaris Jenderal MA untuk mengatur perkara dan mendistribusikan suap pada hakim agung yang menangani kasusnya. Bahkan penentuan majelis hakim untuk menangani perkara, terjadi kolusi antara Direktur MA, asisten koordinator atau panitera dan ketia tim majelis (internal MA) dengan pihak berperkara.

"Pihak yang berperkara ditawari menggunakan pengacara tertentu yang mempunyai hubungan dekat dengann hakim agung," terang pria berkacamata tersebut.

Di tahap penanganan perkara, masih menurut Febri, modus yang sering terjadi adalah pihak pengacara kembali menghubungi orang dalam MA untuk kepentingan pemenanganan perkara. Adapun di tahap pemeriksaa perkara, terdapat dua modus mafia peradilan tersebut berlangsung.

Pertama, sekjen atau asisten hakim agung menghubungi pihak berperkara dengan kemungkinan antara lain: menawarkan putusan yang memenangkan, sekjen sudah menyusun draf putusan, dan pura-pura menawarkan kemenangan pada pihak yang sebenarnya sudah memenangkan sebuah kasus.

Kedua, pihak yang berperkara menawarkan atau memberikan sesuatu kepada hakim agung, baik langsung maupun melalui pengacara.

"Ini menjadi penting kami sampaikan, karena penangkapan hakim 'S' dan hakim-hakim sebelumnya oleh KPK harus dijadikan momentum membersihkan institusi pengadilan. Dimulai dari MA dan pengadilan-pengadilan strategis di Jakarta," kata Febri. (detik.com)
Share this article on :

0 komentar:

Post a Comment

 
© Copyright 2010-2011 Kampret All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.