Powered by Blogger.
Tuesday, 26 July 2011

Gubernur Sumatra Nonaktif, Syamsul Arifin Dituntut Lima Tahun Penjara

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Gubernur Sumatera Utara (Sumut) nonaktif, Syamsul Arifin hukuman lima tahun penjara. Syamsul juga didenda senilai Rp 500 juta subsidair 6 bulan.

"Menuntut, supaya majelis hakim menjatuhkan pidana lima tahun dan membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan," ucap anggota JPU, Muhibuddin, saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (26/7).

JPU juga menuntut Syamsul membayar uang pengganti hasil korupsinya sebesar Rp 88,2 miliar. JPU menganggap, Syamsul terbukti sah melakukan tindak pidana korupsi dengan menyelewengkan dana APBD Langkat tahun 2000-2007 hingga merugikan keuangan negara mencapai Rp 98,7 miliar.

"Terdakwa terbukti adanya kesengajaan menggunakan kas daerah untuk pribadi dan keluarga," kata Muhibuddin.

Syamsul dianggap terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Usai mendengarkan tuntutan Jaksa, Syamsul dan kuasa hukumnya tidak memberikan tanggapan atas tuntutan tersebut.

Namun kuasa hukum Syamsul hanya menyampaikan surat permohonan pembantaran. Atas permohonan pembantaran tersebut, majelis hakim yang dipimpin Tjokorda Ray Suamba akan mempertimbangkan permohonan tersebut. Sidang ditunda dan dilanjutkan pada hari Senin 1 Agustus 2011.
(republika.co.id)

Pemilu Kotor Itu Baik(?)

"Pemilu tidak bersih!". Wah ada apa? Jika pernyataan itu keluar dari mulut rakyat kecil di warung kopi barangkali sudah biasa. Namun bagaimana jika pernyataan itu terlontar dari mulut seorang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD?

Beberapa hari yang lalu, Mahfud MD memang mengeluarkan pernyataan yang berbunyi, "Anda jangan mimpi bahwa pemilu itu akan bersih 100 persen, kapan pun dan di mana pun. Pasti ada satu atau dua, maka di undang-undang itu disebut, pelanggaran yang signifikan terhadap angka", sebagaimana dikutip dari berita online, okezone.com (11/7/2011).
Kecurangan pemilu sendiri sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Masyarakat sendiri menyaksikan dan merasakan kecurangan-kecurangan itu secara nyata. Para peserta pemilu yang kebetulan kalah pun juga kadang melaporkan adanya kecurangan dalam pemilu. Meski peserta yang kalah juga melakukan kecurangan. Singkatnya, kecurangan dalam pemilu sudah menjadi rahasia umum.

Pernyataan dari Mahfud MD sendiri dapatlah mempertegas bahwa pemilu lima tahunan selama ini jauh dari kejujuran dan kata bersih. Hanya sebuah mimpi, kata beliau, jika mengharap pemilu 100 persen bersih dan jujur. Sebabnya, kecurangan pemilu dilakukan oleh samua partai secara random.

Kecurangan pemilu yang umum terjadi dilakukan dengan memanipulasi daftar pemilih tetap, serangan fajar, hingga saat penghitungan suara. Kecurangan-kecurangan ini kerap terjadi baik pada pemilukada, maupun pemilu legislatif dan eksekutif tingkat nasional. Apalagi kasus pemalsuan keputusan MK yang terkuak belakangan ini kian menambah keraguan terhadap kualitas pemilu yang selama ini berlangsung.

Pemilu Demokrasi yang Korup

Dalam perpolitikan sekuler, kecurangan demi kecurangan yang ada dapat dikatakan hal yang wajar dan dimaklumi. Sebabnya sedikit sekali mengedepankan etika politik. Doktrin Machiaveli agar meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara masih menjadi acuan di alam perpolitikan sekuler. Tanpa terkecuali untuk memenangkan pemilu.
Apalagi dalam sistem demokrasi, biaya (modal) besar harus dikeluarkan oleh peserta pemilu jika ingin menang. Dari sinilah kemudian tunas korupsi mulai tumbuh. Biaya yang besar itu sendiri bisa diperoleh dari pemodal-pemodal dengan deal-deal tertentu kalau berhasil menang. Bahkan dari negara atau lembaga asing sekalipun, seperti desas-desus belakangan terkait Sri Mulyani.

Selanjutnya kalau berhasil menang, deal-deal atau proyek hitam pun disikat. Tak mengapa tidak amanah, toh itu akad dengan pemodal. Korupsi? Tak apa-apa haram, asalkan modal kampanye kembali. Lha gimana lagi kalau gaji selama lima tahun belum cukup kembalikan modal. Lho?

Ketidakjujuran selama pemilu pun berimbas ketika para pemenang pemilu menempati kursi pemerintahan. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para anggota legislatif dan kepala pemerintahan daerah menjadi buktinya. Peneliti korupsi politik ICW, Abdullah Dahlan mengungkapkan, kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi dalam suatu pembangunan proyek ini sudah dirancang atau 'by design' oleh partai politik.

Bagaimana output pemilu yang ada? Kontribusi 'orang-orang terpilih' yang disaring melalui pemilu bagi rakyat? Ternyata tidak juga menggembirakan. Dari gedung wakil rakyat misalnya, sejak era reformasi hingga sekarang telah lahir 76 undang-undang yang berlaku sekarang ternyata dibuat oleh konsultan asing seperti IMF, Bank Dunia dan USAID. Dengan kata lain, para anggota legislatif hanya tinggal setujui saja. Tidak sedikit dari peraturan dan UU yang dibuat kontrapoduktif dengan cita-cita negara. Bahkan hingga Juni kemarin ada sekitar 158 kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi (antaranews, 25/6/2011)

Padahal dana pemilu menyita biaya yang begitu besar agar memiliki penyelenggara negara yang handal. Padahal rakyat pun sudah capek bergumul dengan problematika seperti kemiskinan, pengangguran, putus sekolah dsb. Tetapi ternyata? Pemilu dalam sistem demokrasi yang menagih biaya besarlah penyebabnya. Demokrasi seperti kata Samuel Huntington (1998) tidaklah selalu menjadi pilihan terbaik, karena ia dapat menimbulkan inefisiensi dan ketidakpastian.

Persoalannya adalah apakah kecurangan pemilu yang terjadi dimaklumi begitu saja? Sehingga jika ke depan kerap kali terulang, pemilu yang curang tetap (harus) dimaklumi (lagi). Kalau begitu bagaimana kita bisa memiliki penyelenggara negara yang amanah, bila dalam pemilunya saja sudah dipenuhi kecurangan. Padahal selama ini kita begitu mendambakan aparat-aparat pemerintahan yang kapabel, dan amanah.

Pemilu memang tidak masalah, tetapi orientasi 'haus kekuasaan' itulah yang menjadi penyebabnya. Sekali lagi, kita tidak menyalahkan pemilu sebagai sebuah cara rekrutmen penyelenggara negara. Sebabnya dalam Islam pun mekanisme pemilihan/rekrutmen penyelenggara negara dengan pemilu juga ada.

Hal yang kita sayangkan adalah ketika kekuasaan dijadikan tujuan. Sehingga ketika duduk empuk di kursi kekuasaan, tugas mengurus rakyat pun terabaikan. Bahkan kekuasaan dapat membuat lupa diri, lupa rakyat, bahkan lupa iman. Sampai-sampai penjajahan gaya baru pun diperkenankan masuk dan mengobrak-abrik kedaulatan negara dari sebagaimana mestinya.

Para pembaca tentu pernah mendengar jingle iklan sebuah deterjen yang berbunyi "Kotor itu baik". Tentu kedengaran konyolnya ketika menilai pemilu yang tidak bersih dengan mengatakan "Pemilu tidak bersih itu baik". Sangat miris sekali.

Bagaimana juga, (kecurangan) pemilu tidak lepas dari sistem demokrasi yang berlaku sekarang. Menarik melihat pertanyaan mendiang Ignatius Wibowo mengenai demokrasi. Beliau meragukan validitas teori bahwa demokrasi adalah penyelamat segala bentuk kebobrokan di Indonesia saat ini pun patut diperhatikan oleh semua pihak. Bahkan ungkap Ignatius, demokrasi malah memunculkan masalah baru yang sebelumnya tidak pernah ada seandainya demokrasi tidak diterapkan.

Apalah ternyata, demokrasi yang digadang-gadang mampu menjadi solusi ternyata tidak manjur. Bahkan jauh panggang dari api. Demokrasi tidak mampu menjembatani negeri ini ke cita-citanya: mensejahterakan rakyat dan melindungi negara dari penjajahan yang dalam bahasa BJ. Habibie, 'VOC berbaju baru'.
(detik.com)
Saturday, 23 July 2011

Anggaran Pilkada DKI Tidak Transparan

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penyusunan anggaran pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta terkesan tertutup dan tidak transparan.
"Sampai saat ini masyarakat pun tidak tahu berapa anggarannya," ujar Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, Abdullah Dahlan, saat dikonfirmasi Tempo, Sabtu 23 Juli 2011.

Dahlan mengatakan publik kesulitan mengakses informasi mengenai besaran anggaran yang ditaksir bisa mencapai ratusan miliar itu. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan terjadi penggelembungan terhadap anggaran yang akan diambil dari APBD DKI Jakarta itu. "Kami khawatir ada pemborosan anggaran," ujarnya.

Ia mencontohkan penggunaan logistik pemilu seperti bilik suara dan kotak suara yang dimungkinkan menggunakan 100 persen barang baru. Padahal, sisa logistik pemilu 2009 lalu masih bisa digunakan, sehingga berpotensi bisa menggelembungkan besaran anggaran pemilu. "Penganggaran seperti itu perlu kita waspadai," ujarnya.

ICW khawatir terhadap independensi calon incumbent yang akan maju karena seluruh anggaran yang akan digunakan dalam pemilihan ini seluruhnya berasal dari APBD setempat. "Yang jelas independensi bisa dipengaruhi melalui anggaran," ujarnya.

Lembaga penggiat antikorupsi ini mendorong DPRD DKI Jakarta bisa mengambil peran dengan mengoreksi anggaran yang akan digunakan, seraya berharap agar KPUD DKI Jakarta bisa berhemat dalam penggunaan anggaran di lapangan. "Peran mereka (Dewan) sangat dibutuhkan di sini," ujarnya.

Dalam beberapa kali perhelatan pemilihan gubernur DKI Jakarta, ICW menilai anggaran yang digunakan KPU cukup besar bila dibandingkan dengan 2 penyangga Ibu Kota, seperti Provinsi Jawa Barat dan Banten, didasarkan luasan DKI yang tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan kedua daerah itu.

Dahlan berjanji lembaganya akan terus memantau jalannya pemilihan gubernur DKI Jakarta ini hingga akhir, termasuk mengenai penggunaan anggaran yang dipakai. "Laporan BPK itu paling rentan soal dana pemilu," ucapnya.

Pemilihan yang akan digelar pertengahan tahun 2012 mendatang itu diprediksi akan berlangsung dalam 2 putaran dengan kandidat perwakilan partai politik dan perseorangan (independen). Beberapa nama yang sudah santer, yakni calon incumbent Fauzi Bowo, ekonom Faisal Basri, hingga pengamat politik Eep Saefulloh Fatah.

Estimasi anggaran tak kurang dari Rp 250 miliar. Angka itu untuk mengakomodasi jumlah pemilih yang tersebar di 16.800 TPS dengan total 151.200 petugas.

(tempointeraktif.com)

Diduga Korupsi, Bupati Kepulauan Mentawai Dicekal

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatra Barat (Sumbar) mencekal Bupati Kepuluan Mentawai Edison Saleuleubaja karena diduga korupsi dana Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) pada 2003-2004 Rp1,5 miliar.

"Sebagai langkah antisipasi agar oknum Bupati Kabupaten Kepuluan Mentawai tidak kabur keluar negeri, kami mengeluarkan surat pencekalan," kata Kepala Kejati Sumbar Fahmi di Padang, Jumat (22/7).

Menurutnya, surat pencekalan dikeluarkan Kejati Sumbar sejak 24 Juni lalu, selanjutnya diteruskan kepada Kejaksaan Agung. "Kami sangat hati-hati terhadap tersangka diduga melakukan korupsi. Untuk itulah, surat cekal dikeluarkan sehingga tidak akan mempersulit
pemanggilan oleh penyidik Kejati Sumbar," katanya.

Ia menambahkan, kasus korupsi yang diduga dilakukan Bupati Kepuluan Mentwai antara lain dalam pengadaan alat berat yang kini ditangani oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Tuapejat. Dalam kasus tersebut penyidik menemukan adanya indikasi kerugian negara Rp1 miliar lebih.

Pencekalan juga dilakukan terhadap tersangka korupsi lainnya, di antaranya mantan Bupati Solok
Selatan Syafriza dan mantan Bupati Solok Marlon Martua. "Mantan Bupati Solok Selatan Syafrizal dicekal setelah menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan daerah 2008 senilai Rp10,9 miliar," ujar Fahmi.

(mediaindonesia.com)

Aditjondro nilai Pemilu 2009 curang, di ulang saja

Penulis buku 'Cikeas makin menggurita,' George Junus Aditjondro mengatakan Pemilu 2009 seharusnya diulang karena adanya dugaan kecurangan, termasuk apa yang terindikasi dilakukan anggota KPU Andi Nurpati ketika itu.
Pernyataan itu disampaikan Aditjondro dalam acara diskusi dan bedah buku 'Cikeas makin menggurita,' sebagai kelanjutan dari buku 'Gurita Cikeas' yang ditulisnya sebelumnya. Menurut  dia, buku terbaru tersebut semakin mengukuhkan kebenarannya atas apa yang diungkap oleh Wikileaks dan dimuat di media Australia.

Dalam buku tersebut, dia mengurai lebih dalam soal pelanggaran dan kecurangan Pemilu 2009. Selain itu juga dipaparkan keberpihakan KPU yang memperkuat dugaan selama ini bahwa Andi Nurpati yang saat ini menjadi Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Partai Demokrat, terlibat.

"Gong dari buku ini adalah mempertanyakan kemenangan Demokrat dan kemenangan SBY, tidak sah. Pemilu harus diulang, dan pelaku-pelakunya harus didiskualifikasi," ujarnya.

Pada bagian lain dari buku itu juga diungkapkan soal penghitungan suara di Sumatera Utara yang dinilai melanggar ketentuan Pemilu. Penghitungan suara yang dilakukan di rumah Kapolsek dengan penerangan yang seadanya tersebut dinilai melanggar aturan. "Kemudian bagaimana adanya keterlibatan dana asing dalam pemilu," ujarnya.

Aditjondro juga menegaskan dalam buku itu soal kebobrokan Pemilu ini yang kemudian menjebloskan mantan Ketua KPK Antasari Azhar ke penjara. Antasari dijebloskan ke penjara dengan memaksakan tuduhan pembunuhan dan pelecahan seksual hanya karena ingin mengungkap soal IT KPU.

Menurut alumnus Cornell university, Amerika Serikat itu, ada beberapa hal baru dalam buku itu  yang menjadi kelanjutan dalam mengungkap skandal pemberian bailout ke Bank Century. Yang belum terungkap, kata George, salah satunya soal laporan dari PPATK.
(bisnis.com)

Tentukan Kenaikan Tarif Air, DPRD Batam Diduga Terima Suap di Restoran

Sopir Wakil Ketua DPRD Kota Batam, Provinsi Kepri Ruslan Kasbulatov membenarkan pertemuan direksi PT Adhya Tirta Batam (ATB) dengan pimpinan DPRD di sebuah restoran Jepang terkait rencana kenaikan tarif air bersih.

"Pertemuan itu memang ada dan saya yang mengantarkan bos ke sana," kata Bobby Fernando yang merupakan sopir Ruslan di Batam, kemarin.

Ia mengatakan dalam pertemuan tertutup itu, hadir unsur pimpinan antara lain Ketua DPRD Soerya Sardi, Wakil Ketua II dan III Zainal Abidin dan Aris Hardy Halim.

"Saya bersama dengan sopirnya Pak Zainal menunggu di luar, karena pembicaraan sangat serius," kata dia.

Ia membantah pernyataan sejumlah unsur pimpinan yang menyebutkan tidak ada pertemuan khusus dengan petinggi ATB untuk membahas rencana kenaikan tarif air.

Bobby juga mengatakan atasannya, Ruslan Kasbulatov, tidak dalam keadaan mabuk ketika memberikan pernyataan ada pertemuan khusus.

Ditanya mengenai upaya suap, ia mengatakan tidak tahu. "Kalau soal uang, saya tidak tahu," kata dia.

Menurut dia, Ruslan dan Surya Sardi hanya sekitar 45 menit dalam pertemuan itu. "Saya antar jam 19.15 WIB Dan jam 20.00 WIB, bos saya keluar dari pertemuan itu bersama pak Surya Sardi," kata dia.

Sedang Aris Hardy Halim dan Zainal Abidin tetap diruangan. Di parkiran mobil, ia melihat kendaraan milik Wakil Ketua III DPRD Aris Hardy Halim bernomor polisi BP 1971, Wakil Ketua II DPRD, Zainal Abidin dengan nomor plat BP12.

Di restoran, ia mengatakan sempat melihat Wakil Presiden Direktur PT ATB Benny Adrianto. Benny menggunakan kaca mata dan baju putih dan duduk dekat Aris.

"Saya sempat lihat, karena saya disuruh bos beli rokok," kata dia.

Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, Ruslan Kasbulatov menolak menjelaskan pertemuan tertutup itu. "Adu jangan dulu ya dek. Nanti yang lain aja dulu wawancara ya," kata dia.

Sebelumnya, Ruslan mengakui adanya pertemuan tertutup. Pernyataan itu disampaikannya kepada pengunjuk rasa yang menolak kenaikan tarif. Namun, pernyataan Ruslan dibantah pimpinan dewan yang lain.

Surya Sardi, menuding Ruslan sedang tidak sadar saat menyampaikan pernyataan itu. Dia membantah ada undangan makan-makan dari pihak ATB. Zainal Abidin dan Aris Hardy Halim juga membantah pertemuan itu.
(berita8.com)
Thursday, 21 July 2011

Kemiskinan di Sulsel Berpotensi Naik

Rendahnya penyerapan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dikhawatirkan berdampak meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran di Sulsel.

Saat ini untuk APBD Sulsel sebesar Rp2,9 triliun, tingkat penyerapan anggaran oleh SKPD baru mencapai 38%. Sementara dana APBN Rp13 triliun, baru mencapai 45,46%. “Kalau penyerapannya rendah, berarti ada proyek infrastruktur yang belum jalan dan otomatis berdampak pada tidak tersedianya lapangan kerja.

Secara tidak langsung penyerapan APBD dan APBN memengaruhi tingkat kemiskinan dan pengangguran,” ungkap Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulsel Tan Malaka Guntur kepada SINDO di Kantor Gubernur, kemarin. Dengan tingkat penyerapan anggaran yang tidak melampaui 50%, sama sekali belum berdampak pada peningkatan perekonomian.

Apalagi, belum kelarnya sejumlah proyek pembangunan infrastruktur yang pendanaannya dinilai cukup besar, belum bisa menyerap tenaga kerja serta dan meningkatkan upah bagi kalangan masyarakat. “Karena itu,proyek dan program pemerintah dipacu sehingga triwulan III minimal 70%”. “Kalau tidak,itu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengaruhi angka kemiskinan serta membengkaknya pengangguran,” tuturnya kepada wartawan,kemarin.

Hingga saat ini masih terdapat 931.000 jiwa atau 11,6% masyarakat miskin di Sulsel. Sementara itu, dalam program Pemerintah Provinsi (Pemprov), ditargetkan penurunan angka kemiskinan hingga di bawah 10% pada 2012. Tan Malaka mengatakan, untuk mempercepat penyelesaian infrastruktur yang dibiayai APBN dan APBD,Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh kepala SKPD untuk merampungkan seluruh proses tender proyek.

Bappeda Sulsel juga akan membentuk tim khusus untuk memonitoring dan melakukan investigasi mengenai keterlambatan program serta proyek 2011 yang merupakan tanggung jawab langsung dari SKPD. “Tidak ada alasan tidak bisa menyelesaikan sampai 70% pada triwulan III/2011 ini.Yang jelas, itu tidak melanggar aturan dan sesuai aturan main yang telah kami sepakati.

Target ini harus tercapai,”ujar pria asal Jeneponto ini. Sehari sebelumnya, Bappeda melansir bahwa Sulsel belum mencapai target 50% dalam realisasi fisik penggunaan APBD dan APBN pada triwulan II.Hingga saat ini realisasi fisik yang dilaksanakan baru 48,43%,sedangkan APBN baru berjalan 45,46%.

Dari 67 satuan kinerja perangkat daerah (SKPD) di lingkup Pemprov Sulsel yang menggunakan APBD,dua di antaranya masih menunjukkan realisasi fisik yang angkanya di bawah 20%.Keduanya,yakni Biro Humas dan Protokol serta Biro Hukum dan HAM Sulsel. Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu’mang bahkan menginstruksikan Bappeda menginvestigasi penyebab sejumlah SKPD tersebut masih berada di bawah 20%.

(makassarterkini.com)

Alasan kenapa Singapura jadi tempat pelarian Koruptor Indonesia

Belakangan, aparat penegak hukum negeri ini seolah dibuat tak berdaya oleh sepak terjang dua orang tersangka dugaan korupsi: Nunun Nurbaeti dan Muhammad Nazaruddin. Belum selesai aparat mencari keberadaan Nunun, publik kembali dikejutkan dengan buronnya Nazaruddin.

Nunun, isteri mantan Wakil Kepala Polri Adang Darajatun, terjerat kasus dugaan suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 yang dimenangkan Miranda Gultom. Sedangkan Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.

Keduanya melarikan diri dari proses hukum yang seharusnya dijalani. Mereka buru-buru meninggalkan Indonesia sebelum sempat dicekal. Keduanya sama-sama memilih Singapura sebagai tujuan pelarian pertama. Nunun bertolak ke Singapura pada 23 Februari 2010 atau sekitar sebulan sebelum dicegah. Sementara Nazaruddin bertolak ke Singapura pada 23 Mei 2011 atau sehari sebelum dilarang ke luar negeri. Saat itu, status hukum keduanya belum tersangka. Hingga kini, jejak keduanya sulit terlacak.

“Kiprah” Nunun dan Nazaruddin bukan cerita baru. Sebelumnya, terdapat sederet nama terduga koruptor lain yang lebih dulu kabur ke luar negeri. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2001 tercatat 42 orang yang diduga terlibat kasus korupsi melarikan diri ke luar negeri.

"Ini merupakan daftar terduga, tersangka, terdakwa, terpidana, dugaan perkara korupsi yang diduga telah dan pernah melarikan diri ke luar negeri dari 2001 hingga saat ini," ujar aktivis ICW Tama S Langkun dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.

Yang menarik, sekaligus klasik, berdasarkan catatan ICW, sebagian besar pelarian tersebut memilih Singapura sebagai tempat singgah. Jaraknya hanya sejengkal dari Indonesia. Tapi, hukum Indonesia tak mampu mejamah mereka. Negeri Singa itu memang tempat pelarian favorit. Pertanyaannya, mengapa Singapura?

Mengapa Singapura?

Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana berpendapat, ada lima alasan yang menjadikan Singapura sebagai negara pelarian favorit para koruptor Indonesia. Pertama, banyaknya jadwal penerbangan menuju Singapura.

"Dalam satu hari setiap jam bisa ada Garuda, Singapur Airlines, belum lagi maskapai lainnya. Kalau saya dikejar, bisa tinggal langsung naik pesawat, berangkat," katanya.

Kemudahan akses ke Singapura tersebut, lanjut Hikmahanto, belum tentu didapatkan jika mereka memilih pergi ke negara anggota ASEAN lainnya seperti Thailand. "Apalagi sekarang ke Singapura bisa dari Bali dan Bandung," tamba dia.

Kedua, lanjut Hikmahanto, para pelarian tersebut mencontoh pelarian-pelarian sebelumnya yang cenderung memilih Singapura. Citra Singapura yang terkenal "ramah" untuk para pelarian membuat mereka memilih ke sana.

"Para koruptor melihat preseden atau contoh, tidak ada orang yang diminta pemerintah Indonesia dikembalikan oleh Singapura. Seolah pemerintah Singapura memberikan perlindungan, padahal belum tentu," katanya.

"Dia (Singapura) cuma bilang, kalau mau investasi akan dikasih permanent residence (izin tinggal tetap)," ujar Hikmahanto.

Ketiga, lanjutnya, dengan berdiam di Singapura, para pelarian itu masih dapat memonitor perkembangan di Indonesia. Akses komunikasi seperti televisi, BlackBerry, masih menjangkau Singapura. "Memonitor Indonesia dari Singapura itu mudah, bisa melalui TV, teknologi lain seperti BB, gampang. Kalau di Vietnam, Kamboja, tidak demikian," terang dia.

Keempat, katanya, Singapura merupakan lokasi yang mudah dijangkau dari Indonesia sehingga memudahkan pihak lain, seperti pengacara atau keluarga, menemui para pelarian. "Singapura sebagai tempat enak untuk bertemu berbagai pihak dari Indonesia, pengara dan lain-lain," ujarnya.

Dan, yang ke kelima, cita rasa masakan Singapura senada dengan lidah orang Indonesia. "Yang ini tidak terlalu penting, namun di Singapura bisa mendapat makanan yang sama dengan di Indonesia," kata Hikmahanto.

Selain itu, ia menambahkan, sebagai negara anggota ASEAN, Singapura menerapkan bebas visa bagi pendatang Indonesia yang memudahkan para terduga koruptor Indonesia masuk ke sana. Paling tidak, hanya dengan berbekal paspor para pelarian itu dapat menetap di Singapura selama maksimal 30 hari. Jika lebih dari 30 hari, menurut Hikmahanto, pada umumnya mereka meloncat ke negara lain terlebih dulu untuk sementara, kemudian kembali lagi ke Singapura.

"Supaya tidak ilegal (overstay), mereka (para pelarian) akan pergi dulu misalnya ke Johor (Malaysia), keluar beberapa jam, masuk lagi pada hari yang sama," ungkap Hikmahanto.

Jika si terduga korupsi memiliki banyak uang, tidak menutup kemungkinan jika dia membeli izin tinggal tetap di Singapura. Dia juga dapat memperpanjang izin tinggal sementaranya di Singapura dengan alasan berobat.

Kejati Sumbar Cekal Sejumlah Bupati Koruptor

Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, mencekal dua mantan bupati dan seorang bupati aktif di Sumatera Barat karena tersangkut kasus korupsi.

Berdasarkan keterangan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Bagindo Fachmi, salah seorang yang dicekal  adalah mantan Bupati Dharmasurya, Marlon Martua Situmeang  yang masuk ke dalam daftar pencarian orang. Marlon adalah tersangka kasus penggelembungan dana pembelian lahan RSUD Dharmasurya tahun 2008, senilai Rp4,5 miliar.

Mantan Bupati Solok Selatan Syafrizal juga dicekal  setelah menjadi tersangka kasus korupsi pengelolaan keuangan daerah 2008 senilai Rp10,9 miliar.

Cekal juga diberlakukan bagi Bupati Mentawai Edison Seleleubaja atas kasus korupsi provisi sumber daya hutan tahun 2005, senilai Rp1,5 miliar.
(metrotvnews.com)

ONGKOS POLITIK MAHAL- Kalla Akui Keluar Uang Rp120 M saat Pilpres 2009

Kemelut yang saat ini sedang melilit Partai Demokrat tak terlepas dari tudingan ada permainan uang dalam proses pemilihan ketua umum beberapa waktu lalu.Hal ini memancing mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk angkat suara.


Dalam diskusi bertema “Political Branding and Public Relations”di Kampus Pascasarjana Universitas Paramadina,Jakarta,kemarin, Kalla mengungkapkan, dirinya harus menggelontorkan dana sekitar Rp120 miliar sebagai biaya politik pencalonannya sebagai calon presiden (capres) pada 2009.

Mengapa kampanye politik saat ini sangat mahal? Menurut Kalla,itu karena jumlah penduduk dan luas daerah di Indonesia sangar besar.Sayangnya,hal ini tidak didukung dengan sistem penyelenggaraan demokrasi yang jelas.“Di samping itu, tentu saja biaya konsultan politik.Ini faktor utama mengapa ongkos politik mahal,”kata Kalla.

Dia menjelaskan,saat ini politik sudah menjadi industri. Kalau politik sudah menjadi industri,pasti akan ada ekspektasi dari pemodal agar modal dari ongkos politik yang dikeluarkan cepat bisa kembali.

“UU Politik juga membuat politik mahal.Dalam paket UU politik,yang boleh menjadi anggota partai bukan PNS dan TNI.Jadi kebanyakan yang berada di parpol adalah pengusaha.Kalau pengusaha sudah bersaing,akan mahal ‘barang’ politik itu,”paparnya.

Kalla memprediksi,pada Pemilu 2014,nilai ongkos politik bisa bertambah 10 kali lipat dari uang yang dia keluarkan pada 2009.“Saya lihat trennya,ongkos politik setiap hari terus naik.Padahal seharusnya tidak terjadi lagi pada Pemilu 2014 karena semakin mahal biaya politik, pasti bangsa yang menjadi korban,”tuturnya.

Dia bahkan melihat, ongkos politik yang harus dikeluarkan seseorang untuk menjadi ketua umum parpol juga sangat besar.Jumlahnya bisa mencapai 10 kali lipat dari ongkos politik yang dia keluarkan pada Pemilu 2004 dan 2009.“Salah satu faktornya karena political branding yang sekarang agak rumit,”ungkap Kalla.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan,kredibilitas penyelenggara pemilu juga berperan menjadikan pemilu sangat mahal yakni dengan membuka jalan untuk memperjualbelikan suara.

“Jadi perlu diperhatikan juga kredibilitas KPU dan KPUD. Lihat saja,banyak kasus jual beli suara yang terungkap belakangan ini,”tandasnya. Sementara itu,politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya mengemukakan, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi,kepala daerah,dan penyelenggara negara tidak lepas dari tingginya kebutuhan biaya politik.

Ini terlihat terutama saat-saat pemilu dan pilkada. “Di sisi lain,marketing instan justru menjadi pilihan politikus untuk mendongkrak popularitasnya.Jadi,tidak jarang partai membeli suara masyarakat melalui mekanisme pasar yang dinamakan money politic,”pandangnya.

Dalam persaingan seperti ini,kata Bima,partai atau calon yang kuat secara finansial bakal muncul menjadi pemenang.Akibat marketing instan itu pula, partai dan legislator cenderung menjadi abai dengan tanggung jawab kepada para konstituennya. “Bahkan sebagian partai dan calon terpilih justru sibuk untuk mencari sumber dana untuk menutupi biaya kampanye itu,” sesal Bima.

Kemarin diluncurkan pula buku Political Branding and Public Relationskarya Silih Agung Wasesa.Silih mengungkapkan, melalui buku ini,dia mengajak semua lapisan masyarakat untuk memikirkan bagaimana politik di Indonesia bisa lebih sehat, hemat,dan bermartabat.

Dia menyatakan,parpol cenderung tidak memiliki kedisiplinan dan konsistensi untuk membangun brand dalam jangka panjang.Melalui bukunya, Silih juga membahas bagaimana para pelaku politik bisa terlepas dari jebakan high cost campaign serta high cost politic, melalui pendekatan political branding dan public relations.

 “Hal utama yang sangat dibutuhkan partai di negara yang menganut asas multipartai adalah diferensiasi.Yang tidak kalah penting,bagaimana mencari cara untuk menciptakan konsumen atau konstituen bisa loyal membiayai partai,”tandasnya.

(seputar-indonesia.com)
 
© Copyright 2010-2011 Kampret All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.